Belakangan ini, saya mengisi laman Kompasiana dengan tulisan bertema sepak bola Eropa. Salah satu pendorongnya ialah Paris Saint-Germain, klub favorit saya. Cerita-cerita menarik tersaji dari kemenangan keajaiban di pentas Liga Champions dan sengitnya Ligue 1 jelang akhir musim.
Jika ditanya apa kehebatan Paris Saint-Germain, pecinta sepak bola tentu tak menaruh ekspektasi besar terhadap klub Prancis ini.
Di negaranya sendiri, Paris Saint-Germain sudah dibenci warga Prancis. Keadaan yang sama seperti klub besar di negara lain.
Salah satu alasannya, masih berhubungan dengan kota Paris itu sendiri, mengutip penjelasan di kanal YouTube Oh My Goal. Dalam sejarah Prancis, Paris adalah kota kaum borjuis.
Orang Paris memiliki kultur berbeda dibanding warga di provinsi lainnya. Lebih tepatnya, Paris merepresentasikan kaum elit, bukan wajah sebenarnya dari Prancis yang dikenal dengan slogan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).Â
Meski dianggap berbeda dari kebanyakan kota lainnya, jika kita meluangkan waktu untuk mempelajari sejarah Paris, pembahasannya sudah cukup menjelaskan pengaruh Paris terhadap perjalanan sejarah Prancis.
Orang Paris, dianggap sombong. Dan itu akhirnya menular pada klub Paris Saint-Germain. Orang Paris mencintai klubnya layaknya mencintai kota asalnya.Â
Paris adalah rival bagi Marseille. Pertandingan keduanya menggambarkan pertarungan wilayah utara melawan selatan.
Meski istilah utara dan selatan adalah makna perekonomian bagi negara maju dan negara berkembang, pengenaannya pada Paris dan Marseille lebih dipengaruhi faktor budaya, bahasa, kondisi geografi dan sejarah masing-masing. Marseille adalah kota pelabuhan dan Paris adalah kota metropolitan.
Jadi, mengenal klub sepak bola berarti mengenal pula wajah warga kotanya. Cerita-cerita tersaji dari masyarakat dan permainan di lapangan hijau. Ketika Paris Saint-Germain dibeli Qatar Sport Investments pada 2011 silam, yang menjadikannya sebagai klub kaya raya, hal ini justru menambah alasan orang-orang membencinya.