Kebetulan, hari saat kami membersihkan rumah beliau adalah Sabtu, hari libur kantor. Meski waktunya istirahat dari pekerjaan, kami hampir tidak memikirkannya karena kami membayangkan perasaan beliau yang pasti terbebani.Â
Banjir tersebut bukan kali pertama sepanjang hidupnya. Ketika banjir datang, suasana hati tentu tersentak. Saya pernah merasakannya saat tinggal di sana pada 2011 silam, ketika banjir datang beberapa hari setelah pergantian tahun.
Segala perabotan dan kursi yang bisa diangkut, dikeluarkan dari rumah. Beberapa orang membersihkan bagian dalam rumah dari bekas lumpur, sebagian orang lainnya membersihkan perabotan.
Yang membuat terharu sebenarnya saat itu adalah melihat kondisi kamar lama saya. Apalagi ketika saya melihat foto saya sewaktu muda masih aman dalam bingkai dengan posisi yang persis sama sejak 10 tahun lalu.Â
Biarpun saya sering melihat foto tersebut dalam beberapa kesempatan, rasanya berubah menjadi sentimental. Foto tersebut berlatar ruang tengah rumah dengan posisi meja dan kursi tersusun rapi.Â
Kondisi dalam foto tersebut sangat jauh berbeda dibanding keadaan saat itu yang kotor dipenuhi lumpur dan sampah.
Dua hari lamanya kami membersihkan rumah dari sisa banjir. Lelah itu berganti dengan kepuasan.Â
Kami bisa memberi kembali kebahagian kepada Ito karena kami tahu beliau menyimpan banyak kenangan di rumah yang sudah ditempatinya selama puluhan tahun.Â
Dia bisa tertawa selain karena rumahnya telah bersih, juga karena mengetahui kehadiran kami untuk menyantuni beliau saat ia mendapatkan musibah. Kami juga merasa bahagia sudah mengurangi bebannya dan dia sudah ikhlas bahwa perabotannya tentu sudah rusak akibat rendaman banjir.Â
Sebenarnya, Mamak menawarkan beliau untuk pindah ke rumah kami mengingat hujan diperkirakan masih akan terus turun dan berpotensi mendatangkan lagi banjir ke rumahnya, tetapi ditolak karena tidak ingin membebani keluarga kami. Beliau memang memiliki sikap kemandirian yang kuat.