Di balik tiap kebahagiaan, selalu terselip kesedihan. Di balik kata-kata, ada peluang untuk tidur di dalam penjara.
Ironi di atas adalah cerminan pasang-surut kehidupan  yang sigap menjungkirbalikkan keadaan.
Nasib sial ini tidak jauh berbeda ketika berselancar di media sosial. Alih-alih menjadi tempat pelampiasan keluh kesah dan mencari hiburan untuk mengembalikan mood, media sosial bisa dengan sangat mudah mengantarkan orang-orang masuk ke dalam perkara hukum.
Kekuatiran ini sedikit menghantui saya dan mungkin sebagian orang lainnya ketika menulisakan pendapat dan opini di media sosial.
Dari sekian banyak platform, saya secara kebetulan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menuangkan gagasan di Twitter, platform yang memberikan kebebasan kepada penggunanya untuk menuliskan apapun asalkan isi cuitan tidak lebih dari 280 karakter.
Pengguna Twitter tidak selamanya mengisi konten berkeluh-kesah untuk diketahui orang lain.
Dia bisa memanfaatkan Twitter sebagai sarana edukasi untuk membaca thread dan tips dari akun-akun asing atau nimbrung ke lapak percakapan orang lain.
Syukur-syukur mendapat jodoh di akhir pekan melalui tagar biro jodoh.
Apesnya, Twitter kerap berujung mimpi buruk jika penggunanya terlanjur keselip jempol saat mengunggah cuitan. Longgar dikit, gol.
Dalam sepekan terakhir, dua pengguna Twitter diadukan ke pihak Kepolisian lantaran konten di postingannya.