Tetapi kasus di Unesa seolah membuktikan adanya kealpaan terhadap kasus-kasus sebelumnya. Lantas mengapa perpeloncoan ini terulang?
Alasannya, lagi dan lagi, sangat umum bahwa senior hanya melaksanakan tugas mereka selaku komisi disiplin. Pernyataan ini cuma menunjukkan ketidakmampuan berpikir si panitia yang bebal dan absen terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Ulasan saya tentang ketidakmampuan berpikir pernah saya tulis di Kompasiana tiga tahun lalu dan dapat di baca di link ini.
Dan berikutnya, bentak-membentak ini dianggap sebagai bentuk persiapan mahasiswa yang akan menghadapi dunia pekerjaan dengan beban kerja tinggi. Amarah mahasiswa senior masih kalah daripada menghadapi HRD saat wawancara kerja atau bos di pekerjaan.
Asumsi sesat itu harus dihapuskan. Justru isu tekanan di dalam dunia kerja merupakan problem besar dunia ketenagakerjaan dewasa ini. Jangan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Pun dalam beberapa pekerjaan, saya cukup sering mendapati karyawan dan petinggi berada dalam posisi setara dalam menyampaikan pendapat dan masukan. Pola kerja ini dibentuk oleh para millenial perintis usaha startup. Semua terlihat egaliter dalam berpendapat (kecuali soal pendapatan).
Di sisi lain, bukankah lebih baik mendukung mahasiswa menjadi wirausaha ketimbang sebagai karyawan?
Atau diajak berpikir tentang bagaimana mahasiswa harus menyadari betapa berharganya mereka dalam mengubah Indonesia dari cengkeraman kekuasaan.
Tentu dalam mengandaikan bahwa mahasiswa kelak menjadi calon pengusaha, maka perlakuan panitia ospek kepada mahasiswa baru akan berbeda. Tidak mungkin seorang pengusaha mendapat bentakan.
Atau memang kelak mahasiswa ini didorong untuk mengabdi sebagai peneliti dengan ciri khas gaya berpikir yang kritis.
Itupun tidak dilakukan dengan cara membentak, melainkan dengan gaya retorika, sebuah seni bagaimana satu kalimat dapat meruntuhkan seribu argumen lawan.