Satu hal yang tidak terelakkan di era digital saat ini yakni penggunaan media sosial (Medsos) yang begitu mudah diakses siapa saja. Baik orang dewasa maupun anak anak sekalipun.
Saya pernah tersentak ketika seorang anak SD meminta pertemanan di akun media sosial saya. Saya galau antara menkonfirmasi atau mendelete permintaan pertemanan tersebut. Berbeda dengan akun anonim tidak perlu galau, pasti saya langsung delete.
Bagaimana tidak galau, dalam pemikiran saya apakah si anak SD tersebut bisa mendapat pencerahan dari setiap postingan saya di media sosial. Dimana sering sekali saya memposting narasi atau tulisan tulisan aktual sebagai informasi terkini di ruang publik.
Atau sebaliknya, si anak justru sama sekali tidak mengerti apa yang saya posting karena pikirannya belum bisa menjangkau. Atau si anak sekedar gagah gagahan menganggap sudah punya medsos dan punya teman orang dewasa yang luas pergaulannya.
Saya memang sudah komitmen menjadikan media sosial sebagai media  pencerahan sekaligus basis literasi di ruang publik. Tentu saja narasi pencerahan tersebut diharapkan bisa memberikan edukasi buat publik lewat tulisan yang saya share.
Komitmen menjadikan medsos untuk memberikan asupan pencerahan di ruang publik, tentu menjadi preferensi dari dua pilihan yang ada. Salah satunya memberikan asupan pembodohan di ruang publik. Memberikan asupan pencerahan adalah sebuah panggilan jika ingin menjaga generasi bangsa terhindar dari praktek degradasi dan segregasi.
Memberikan asupan pencerahan sudah pasti menjadi kontra terhadap asupan pembodohan yang begitu biner terekspos di ruang publik, lewat medsos sebagai salah satu mediumnya. Asupan yang seringkali menjadi olahan dengan berbagai modus, seperti ingin viral dan dapat banyak pengikut. Dimana sudah banyak yang menjadi korban akibat olahan tersebut.
Narasi maupun konten hoaks, fitnah serta prank yang menyesatkan, merupakan bentuk asupan pembodohan yang setiap saat bisa diserap dan menjadi dosis insidentil untuk merusak nalar dan moral anak bangsa. Namun ironisnya, masih saja disukai dan diterima sebagian publik dengan pendekatan perasaan bukan nalar.
Belum lagi narasi atau konten yang secara tidak langsung membuat anak bangsa menjadi insan yang individualistik, pragmatis dan hedonistik. Menjadi insan yang kehilangan jati diri gotong royong, patriotis dan cinta akan bangsanya.