Mohon tunggu...
edy syahputra sihombing
edy syahputra sihombing Mohon Tunggu... Dosen - Filsafat

Pengajar Filsafat di Universitas Katolik Parahyangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyongsong Kultur Spiritualitas

15 Juli 2019   14:59 Diperbarui: 15 Juli 2019   15:02 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Makna sejati dari spiritualitas adalah kenyataan, demikian yang diungkapkan oleh Ralph Waldo Emerson. Ungkapan tersebut patut diakui dan diapresiasi bobot kebenarannya.

Ungkapan tersebut bukan sekadar mantra orang-orang yang bernaung di bawah payung intelektual Plato. Ungkapan tersebut juga bukan sekadar doa yang berusaha meng-counter kecenderungan Ruh zaman yang seolah berhasil mempermainkan hasrat manusia untuk berlutut di bawah budaya materialisme, konsumerisme, hedonisme yang cenderung berorientasi pada kebahagiaan di level permukaan. Ungkapan tersebut hanya sebuah permenungan yang bermuara pada kesadaran batin bahwa manusia adalah mahluk yang terus menerus dibanjiri paradoks dan seharusnya bisa meningkatkan daya spiritualitas melalui paradoks tersebut.

Paradoks macam apa? Ada begitu banyak paradoks yang muncul dalam perkara hidup manusia. Termasuk dengan spiritualitas. Spiritualitas misalnya yang cukup lama dipahami sebagai ide abstrak yang bersemayam di dalam pikiran manusia, yang dengan itu ia seolah tidak punya peluang untuk muncul dalam realitas. Akan tetapi, melalui permenungan yang mendasar, apabila mau jujur diakui sejatinya apa yang menjadi paradigma spiritualitas seseorang, akan besar kemungkinan paradigma itu lah yang juga akan nampak dalam kenyataan sejati manusia.

Lapisan batin manusia yang mewadahi spirtualitas cenderung diabaikan peran dan maknanya sehingga dibiarkan begitu saja dibanjiri kepalsuan makna. Kecenderungan tersebut berawal dari kelelahan manusia  yang mencari manifestasi konkret dari spiritualitas, dan dianggap tidak ada kenyataannya, sehingga membicarakan bayak hal tentang spiritualitas adalah kebiasaan orang yang tidak mempunyai pekerjaan, atau dengan kata lain, orang-orang yang punya banyak waktu untuk memikirkannya. Sehingga, energi manusia cenderung banyak dihabiskan pada hal-hal materi yang paling nyata dan membahagiakan. Di sini paradoks yang atsmosfernya cukupkuat adalah spiritualitas bukan kenyataan dan tidak terlalu penting untuk direnungkan.

Paradoks lain adalah, kelelahan manusia untuk mencari manifestasi konkret dari spiritualitas cenderung memunculkan sikap menyerah dan melemparkan perkara spiritualitas ke bagian perkara agama. Sehingga wajar saja apabila ada sebagian orang  menyebut spiritualitas adalah bagian dari agama atau bahkan milik agama, dan itu diklaim pula oleh agama.

Ada keanehan berpikir dalam paradigma tersebut. Agama berbeda dari spiritualitas dan sesungguhnya adalah kesewenang-wenangan ketika disebutkan bahwa spiritualitas adalah milik agama. Akan tetapi, spiritualitas dapat dipeluk oleh agama untuk mengembangkan agama. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah, agama berkarakter dari atas ke bawah sedangkan spiritualitas berkarakter dari dalam menuju keluar dan ke atas.

Dengan demikian, menurut hemat saya, adalah pelanggaran hak manusia ketika dikatakan bahwa spiritualitas adalah milik agama. Pembeberan ini berusaha memunculkan kesadaran bahwa spiritualitas adalah bagian dari diri manusia yang telah ada dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan dan sebelum dia dibalut oleh agama.

Perkara lain adalah, spiritualitas pernah tenggelam dan berusaha bangkit kembali di era ini. Spiritualitas tenggelam oleh karena munculnya kultur-kultur baru yang menggiring manusia sampai melupakan daya kreatif yang sesungguhnya menjadi dasar eksistensinya.

Hasrat manusia dengan kemunculan berbagai macam bentuk kultur tersebut seolah dipaksa untuk mencangkokkan diri ke dalam kultur tersebut. Sehingga manusia seakan-akan kehilangan pengetahuan tentang cara menggunakan daya spiritualitas yang ada di dalam dirinya. Akan tetapi dibalik tirai keberhasilan kemunculan kultur-kultur yang menghanyutkan manusia, tetap muncul sepercik kerinduan, sepercik kesadaran bahwa manusia merasa lelah untuk terus dipaksa dan berusaha mencari jawaban yang bermakna atas kelelahan tersebut.

Di balik ketegangan-ketegangan yang muncul, manusia yang pada dasarnya mahluk spiritual kata Agustinus, tetap berusaha mencari kebenaran makna sejati. Kebutuhan akan makna yang terdalam tersebut muncul dari situasi kedangkalan eksistensi hidup manusia. Di sini lah salah satu tempat titik berangkat mengapa spiritualitas perlu ditafsirkan ulang, diredefeniskian bahkan dievolusikan dan itu mendesak hari-hari ini.  

Eksistensi manusia dipenuhi dengan dengan paradoks yang tidak jarang memunculkan kegaduhan, kemarahan, kenaifan, kedangkalan, radikalisme tak berdasar, kemunafikan, kesenjangan, ketebalan pemisahan dan akhirnya kejenuhan. Pemanfaatan power yang telah banyak sekali direcoki oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun komunal mempertebal jarak manusia dengan manusia lainnya bahkan dengan alam semesta dan mungkin dengan realitas yang Illahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun