Saya menganggap itu bagian dari tanggung jawab saya sebagai Presiden Amerika Serikat untuk berperang melawan stereotip negatif Islam di mana pun mereka muncul.-- Barack ObamaÂ
Pendapat mantan Presiden Amerika Serikat ini, penulis baca di laman JagoKata.com, dan sudah lama meninspirasi penulis dalam memerangi stereotip negatif yang muncul dalam diri sendiri.
Sungguh, sangat tersiksa diri ini karena stereotip negatif ikut membawa alam rohani jadi rusak. Doa pun kepada sang Khalik dapat tertolak. Mengapa?
Ya, lantaran prasangka terhadap seseorang, kelompok, etnis atau ras tertentu selalu yang muncul yang buruk-buruk. Si Anu selalu diberi label sebagai pencuri lantaran pernah keluar dan masuk bui. Karena sering keluar masuk bui itulah jika terjadi peristiwa penjarahan lantas si Anu tadi, dengan cepat seseorang mengarahkan penilaian bahwa tokoh pencuri atau pelakunya adalah si Anu tadi.
Realitasnya, setelah pihak berwajib dan aparat hukum lainnya melakukan pemeriksaan, pelakunya bukanlah si Anu.
Kita pun sering terjebak dengan pendapat seorang kiai atau ulama kala berlangsung pemilihan kepala daerah. Hanya lantaran sering tampil di media (sosial), kita menjadi pengikutnya dengan cara membabi buta dan selalu mengunyah mentah-mentah pendapatnya.Â
Padahal, ucapannya diarahkan untuk memberi dukungan kepada seseorang yang tengah bertarung untuk meraih suara terbanyak dalam pemilihan di daerah bersangkutan.
Dalil diplintir, berita bohong, dan hadist pun dimanipulasi hingga pemelintiran kalimat jadi barang mainan. Semua itu sudah bukan hal baru ketika tengah sengit-sengitnya kampanye kepala daerah. Rakyat akar rumput bagai dakocan, mainan anak perempuan di teras rumah.
**
Hanya lantaran bermata sipit dan warna kulit putih, penulis nyaris pulang tanpa nyawa. Ini pengalaman ketika bermukim di Pontianak. Suatu saat mengendarai mobil. Jalan raya agak sepi. Pantaslah kendaraan di muka penulis melaju dengan cepat. Penulis ikut tancap gas.