Bagi kalangan orangtua, dengan usia antara 60 -- 65 tahun, dapat dipastikan bahwa mereka masih ingat antrean mengular untuk mendapatkan minyak tanah di sebuah pangkalan minyak tanah.
Kaleng minyak tanah berbentuk kubus memanjang dan bergerak maju perlahan mendekati petugas yang menuangkan minyak tanah dengan literan secara teratur. Sementara orang yang mengantre berdiri di samping dengan sekali-sekali mengambil minyak tercecer di atas permukaan tanah.
Caranya, meletakan lembaran kain bekas (gombalan) ke atas permukaan tanah di atas permukaan minyak. Itu dilakukan cepat-cepat sebelum minyak menyerap ke tanah. Lalu gombalan tadi diangkat diperas kuat hingga minyak keluar di atas tadahan kaleng.
Wuih.... jika mengingat antrean mendapatkan minyak tanah ketika itu, sungguh hati sangat memilukan. Sedih. Nah, barulah pada awal tahun 70-an, antrean minyak tanah seperti di Jakarta secara bertahap menghilang dan kita mudah mendapatkannya lantaran pemerintah memberi subsidi bagi rakyat.
Kini, warga di Jakarta tak lagi menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak di dapur. Semua sudah beralih ke elpiji atau gas. Kalaupun masih ada, untuk mendapatkan minyak tanah sangat sulit. Harganya pun mahal.
Bicara tentang zaman "sulit", gambaran seperti di atas kita dapati pada tayangan televisi seperti yang terjadi di Kabupaten Bogor, belum lama ini. Orang berjibun, berusaha dengan cara paksa masuk untuk mendapatkan bantuan. Kita pun susah membedakan, siapa di antara mereka yang miskin, paling miskin, termiskin sekali.
Bedanya, kalau zaman baheula, dulu, antrean untuk mendapatkan minyak tanah, para pengantrinya mengenakan pakaian ala kadarnya. Maksudnya, ya banyak mengenakan pakaian tambal. Baju sobek dan ditambal dengan jaitan bahan lain sehingga bolongnya tak menembus permukaan kulit. Di sini pun sulit dibedakan di antara mereka yang hidupnya paling miskin. Tetapi yang jelas untuk mendapatkan minyak tanah, ya saat itu harus antre.
Tetapi, pada zaman "now" jika kita saksikan dengan cermat, kerumunan warga yang berdesak-desakan dan ingin mendapatkan bantuan sembilan bahan pokok (sembako), semua mengenakan pakaian bagus walau tidak baru.
Meski begitu, keadaan itu tak menggambarkan secara keseluruhan bahwa mereka orang miskin.
Namun, yang pasti, mereka hidupnya tengah menghadapi kesulitan. Di benaknya diliputi pertanyaan, makan apa hari esok. Setidaknya, kesulitan berat sudah menghadang di muka.
Mengapa?