Lantas, dengan rasa malu, pihak keluarga Abu Lahab menggali lubang besar dan memasukkan mayat Abu Lahab ke dalam boks kayu dengan cara mendorong jasad Abu Lahab dengan kayu panjang. Â
Cara menguburkannya juga begitu merepotkan. Orang-orang tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari jasad Abu Lahab, sehingga mereka memasukkan peti tadi dari kejauhan. Sesudah itu, lubang tadi dilempari dengan kerikil dan tanah sampai rata.
Dalam berbagai riwayat disebutkan Abu Lahab memiliki sebuah rumah di kaki gunung yang kini disebu sesuai dengan namanya sendiri yakni Jabal Abu Lahab atau Gunung Abu Lahab. Ia pun dikuburkan di kaki gunung Jabal Abu Lahab. Istrinya yang bernama Arwa binti Harb bin Umayyah, dikenal sebagai Ummu Jamil, juga dimakamkan di kaki gunung ini bersama dengannya.
Maka, berakhirlah hayat sang penentang dakwah Nabi Saw.
Lantas, hikmah apa yang dapat ditarik dari peristiwa ini?
Dari sisi keimanan, hikmah dari kisah itu mengandung pesan  bahwa kesempurnaan hidup seperti kekayaan, jabatan, kecerdasan, ketenaran, paras yang rupawan dan berbagai kenikmatan dunia bukanlah segalanya. Segala kesempurnaan hidup yang dimiliki Abu Lahab tak ada artinya. Sebab, hidupnya tidak dilandasi oleh ketakwaan terhadap Allah.
Namun jika kita kaitkan dengan peristiwa aktual penyebaran virus Corona atau COVID-19, cara penanganan jenazah Abu Lahab sungguh tidak dapat dijadikan contoh.Â
Jenazahnya memang sudah lama mengeluarkan bau, dan makin menjadi-jadi karena didiamkan begitu lama. Itu pun baru dimakamkan dengan cara tidak elok. Dimakamkan dengan keterpaksaan dan dilakukan oleh orang yang jauh dari rasa ikhlas.
Jika menyaksikan pemakaman orang yang terdampak akibat COVID-19 dewasa ini, kita harus bersyukur. Meski disaksikan oleh anggota keluarga dari kejauhan pemakaman, jenazah-jenazah itu diperlakukan dengan baik.
Hal ini sejalan dengan contoh yang diperlihatkan Rasulullah Saw. Seusai Perang Badar, Nabi kembali ke lapangan dan mengintruksikan pasukan mengumpulkan mayat dari pihak lawan lalu dimakamkan di satu lubang.
Kunjungan Nabi ke arena perang untuk melihat yang tewas, dikecam oleh pihak orientalis sebagai menunjukkan bahwa Nabi Saw sebagai orang yang haus darah dan itu bertentangan dalam peperangan. Padahal tidak demikian.