Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gagal Nikah Lantaran Orangtua Angkuh

16 Januari 2020   08:58 Diperbarui: 16 Januari 2020   09:01 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, arak-arakan lamaran dalam adat Melayu di Kalimantan Barat. Foto | BenarNews.com

Pandangan penulis, Raden Mas Bambang Adi Purwa Negoro adalah salah satu dari sekian banyak orangtua yang masih kolot. Ini lantaran ia terlalu dijejeli paham yang keliru tentang perang bubat. Kita tahu dalam cerita  perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda  terjadi di Pesanggrahan Bubat. Pada perang tersebut seluruh rombongan Sunda disebut tewas.

Konon, dalam budaya Sunda, tidak lazim perempuan - calon pengantin Dyah Pitaloka mendatangi pihak lelaki, Raja Hayam Wuruk. Ketidak-patutan itu dilanggar. Mereka pergi ke Pesanggrahan Bubat. 

Alasannya, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Di sisi lain, Mahapati Gajah Mada menganggap kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda dimaknai sebagai  tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.

Jauh sebelumnya pihak dewan kerajaan Negeri Sunda keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Raja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit. Karena melanggar, jadilah perang. Akibat perang tersebut, menyisakan luka hingga kini.

Berkaca dari peristiwa itu, hingga kini di sebagian warga di Tanah Air masih memaknai peristiwa itu sebagai pelajaran yang harus dipedomani. Karena itu, maka jangan coba-coba cari nama jalan raya di Bumi Pasundan dengan sebutan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan lainnya.

Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur juga demikian, jangan coba cari nama Jalan Pajajaran. Kalaupun sekarang ada, seperti di Yogyakrta, orang Sunda masih memaknainya sebagai tipu muslihat seperti Mahapati Gajah Mada yang berambisi memenuhi sumpah Palapa.

Kebanggan akan kejayaan masa silam masih kuat melekat. Kadang berlebihan dan tak masuk akal. Saking bangganya merasa titisan Majapahit itu, sungguh tak masuk akal, ada warga ingin membangun kerajaan baru sebagai penerus Kerajaan Majapahit.

Baru-baru ini munculnya kelompok Keraton Agung Sejagat (KAS) di Desa Pogung, Kecamatan Bayan, Purworejo, yang dideklarasikan Toto dan Fanni sebagai Raja dan Ratu, adalah salah satunya.

**

Nah, terkait dengan memilih jodoh, di kalangan masyarakat kita masih berakar kuat panduan bobot, bibit, bebet yang merupakan kearifan lokal dan terpelihara hingga kini. Bobot dimaknai sebagai kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun