Di tengah riuhnya percakapan tentang kesehatan mental, istilah seperti anxious attachment atau kelekatan cemas menjadi populer. Kita mulai sadar bahwa banyak perilaku dalam hubungan berakar dari luka masa lalu.
Namun, kesadaran ini memunculkan sebuah kekeliruan yang menyakitkan: menyamakan "setia" yang lahir dari rasa takut ditinggalkan dengan kesetiaan sejati. Kita sering melihat posesif dan cemburu sebagai tanda cinta, padahal itu adalah jeritan dari rasa takut kehilangan yang mendalam.Â
Melalui artikel ini saya mengajak kita untuk membongkar kesalahpahaman tersebut. Bagaimana jika kesetiaan sejati bukanlah belenggu, melainkan sebuah pilihan sadar? Sebuah postur mental yang kokoh, yang ditegakkan bukan oleh kecemasan, melainkan oleh disiplin diri untuk merawat tujuan bersama.
Ini adalah sebuah pergeseran paradigma---dari melihat kesetiaan sebagai kepatuhan yang reaktif menjadi sebuah komitmen proaktif. Dengan pendekatan yang humanis dan berbasis data, kita akan menelusuri jalan untuk membedakan keduanya, memahami bahwa cinta yang membebaskan justru lahir dari komitmen yang paling dalam.
Jebakan 'Setia' Karena Luka Masa Lalu
Mengapa seseorang bisa begitu lekat hingga terasa mencekik? Jawabannya sering kali terletak pada masa kecil. Menurut Teori Kelekatan yang dirumuskan oleh psikolog John Bowlby pada 1958, ikatan emosional pertama kita dengan pengasuh membentuk cetak biru hubungan kita di masa depan. Ketika pengasuhan bersifat tidak konsisten---kadang hangat, kadang abai---anak mengembangkan gaya anxious attachment. Mereka belajar bahwa cinta dan perhatian adalah sesuatu yang tidak pasti dan harus diperjuangkan.Â
Pola ini terus berlanjut hingga dewasa, termanifestasi dalam rasa takut yang luar biasa untuk ditinggalkan (fear of abandonment). Individu dengan kelekatan cemas cenderung memiliki harga diri rendah dan sangat membutuhkan validasi dari pasangan. Dunia batin mereka penuh gejolak, sehingga mereka terus-menerus mencari kepastian dari luar. Perilaku yang muncul sering kali disalahartikan sebagai "sangat setia": kebutuhan konstan akan penegasan cinta, kecemburuan berlebih, dan kesulitan memberi ruang pribadi.
Namun, jika kita melihat lebih dalam dengan empati, perilaku ini bukanlah ekspresi cinta, melainkan strategi bertahan hidup untuk meredakan badai kecemasan internal. Fokusnya bukan pada "kita" (hubungan), melainkan pada "aku" (rasa amanku).
Ironisnya, upaya untuk mencegah perpisahan dengan cara mengontrol dan mencurigai justru sering kali mendorong pasangan menjauh, menciptakan ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy). Ini adalah lingkaran setan yang menyakitkan, sebuah kesetiaan yang lahir dari luka, bukan dari pilihan.
Setia Adalah Keputusan, Bukan Perasaan