Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyederhanaan Golongan Listrik, Salahnya di Mana?

16 November 2017   14:22 Diperbarui: 16 November 2017   14:26 2964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih soal efisiensi, Sofyan juga banyak melakukan gebrakan, khususnya di sisi hulu. Mulai dari menekan biaya pembangunan pembangkit baru, menegosiasi harga pembelian batu-bara, sampai bertempur melawan para mafia pemburu rente yang jadi parasit bagi PLN. Bukan rahasia lagi, bila selama ini banyak mark-up sehingga membebani keuangan PLN.

"Pesta pora sudah selesai. Tapi jangan khawatir, kami tetap menyediakan makan pagi, siang, dan malam," ujar Sofyan terkait praktik mark-up dan pat gulipat di belantara PLN yang telah marak selama belasan bahkan puluhan tahun silam.

Keruan saja gebrakan ini membuat banyak kalangan jadi 'mules' dan memusuhi Sofyan. "Ngga apa-apa. Itu risiko," tukasnya ringkas sambil senyum lebar.

Daya beli vs inflasi

Penyederhanaan golongan lisitrik dengan segala manfaatnya tadi bakal membuat konsumsi listrik melonjak. Saat ini, konsumsi per kapita listrik nasional  hanya 900 kWh per tahun. Jika program sukses, bukan mustahil angkanya bakal loncat menjadi 1.500 kwh per tahun per kapita pada dua tahun ke depan.

Sebagian orang mungkin akan mengaitkan hal ini dengan slogan hemat energi yang dikampanyekan. Kalau soal tabrakan-tidaknya dengan kampanye hemat energi , biarlah Kementerian ESDM sebagai punggawa kampanye hemat energi yang menjawab. Bukan saya, dong.

Kekhawatiran lainnya, konsumsi listrik yang melonjak bisa memicu inflasi. Ini benar dan sangat mungkin terjadi. Tapi, bukankah lonjakan inflasi juga bisa dimaknai tumbuhnya daya beli alias konsumsi publik? Bukankah dalam beberapa waktu belakangan ini kita diributkan dengan konsumsi yang terus melandai, kalau tidak mau disebut terjun? Padahal, konsumsi publik menyumbang sekitar 56% dari pertumbuhan ekonomi.

Para menteri ekonomi kita boleh saja bingung dan bengong terkait melemahnya daya beli. Bahkan Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pelemahan daya beli pada kuartal adalah anomali. Ini adalah jurus-jurus ngeles tipikal kaum neolib. Mereka menutup mata, bahwa melorotnya konsumsi publik adalah akibat berbagai kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan.

Tidak berlebihan bila ekonom senior Rizal Ramli menyatakan kebijakan ekonomi superkonservatif yang ditempuh Menkeu menjadi biang keladi pelemahan daya beli masyarakat. Obat generik berupa pemangkasan anggaran khas neolib memang otomatis menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan turun, daya beli akan anjlok.

Kalau sudah begini; inflasi, siapa takut? Justru yang harus Sri dan kawan-kawannya pikirkan adalah, bagaimana mendongkrak perekonomian bisa lebih tinggi daripada sekadar mentok di 5 koma nol sekian persen terus. Yang lebih penting lagi, mereka juga harus bekerja dengan hati ekstrakeras, dan ekstracerdas untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, bukan sibuk menyenangkan para kreditor asingnya.

Walah, jadi ngelantur nih... Kembali ke soal penyederhanaan golongan sekaligus penaikan daya listrik tadi. Memang agak mengherankan kalau program sebagus ini kok malah menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Padahal, sepertinya, masalahnya cuma soal komunikasi. Itu saja. Yuk. (*)

Jakarta, 16 November 2017

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun