Mohon tunggu...
Eduard Awang Maha Putra
Eduard Awang Maha Putra Mohon Tunggu... Perancang Peraturan Perundang-undangan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan

Ketertarikan pada ilmu hukum dan ilmu pemasyarakatan membuatnya terus belajar dan melakukan riset-riset ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Persimpangan Budaya dan Integritas: Menakar Batas antara Pemberian Sukarela dan Tindak Pidana Gratifikasi di Lingkungan Pemasyarakatan

8 September 2025   14:36 Diperbarui: 8 September 2025   14:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Pendahuluan

      Kehidupan bernegara senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan yang terus tumbuh dan berkembang dalam dinamika perkembangan zaman. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia yakni korupsi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebab mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara dan juga berdampak pada kemajuan sosial, ekonomi, dan politik.

       Dalam perkembangannya, tindak pidana korupsi tidak hanya berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang secara substansi dapat diklasifikasikan ke dalam tujuh kategori utama, yaitu: (i) perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara; (ii) suap-menyuap; (iii) penggelapan jabatan; (iv) pemerasan; (v) perbuatan curang; (vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan (vii) gratifikasi.[1]

      Dari beragam jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang di atas, gratifikasi merupakan istilah yang masih terdengar awam di telinga masyarakat. Ketentuan mengenai gratifikasi tercantum dalam Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan bahwa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Pengaturan ini lahir sebagai wujud kesadaran akan dampak negatif gratifikasi yang rawan untuk disalahgunakan, terutama dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik.[2]

      Hadirnya peraturan yang mengatur terkait larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri diharapkan dapat meminimalkan tindak pidana pemerasan dan suap sehingga dapat terbentuknya suatu sistem hukum yang berorientasi  pada penegakan hukum yang optimal. Pada implementasinya penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi kendala. Hal ini dikarenakan karakter masyarakat Indonesia yang terkenal melekat dengan budaya ketimuran, mengganggap pemberian hadiah merupakan suatu hal yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekatkan tali silaturahmi dalam kehidupan masyarakat. Budaya ketimuran tersebut kerap dijadikan tameng atau dalih bagi sebagian pegawai negeri untuk membenarkan hadiah-hadiah yang diterima dari masyarakat ketika mereka memberikan pelayanan publik. Padahal, dimensi budaya ketimuran yang tadinya murni tanpa pamrih, tidak mengenal pangkat, golongan maupun jabatan, telah berubah masuk ke dimensi hubungan jabatan dan pemenuhan kewajiban pegawai negeri dalam pelaksanaan tugasnya.[3] Masyarakat sebagai penerima layanan publik atau vendor memberikan hadiah kepada pegawai negeri, tentunya secara tidak langsung, baik disadari atau tidak, karena berkaitan dengan jabatan pegawai negeri tersebut yang telah, sedang, atau akan menjalankan tugasnya melayani kebutuhan masyarakat. Pertanyaan yang muncul yakni jika pegawai negeri tersebut tidak dikenal dalam jabatannya, atau pegawai negeri lain di kantor yang sama, tetapi tidak ada kaitan interaksi pelayanan dengan masyarakat atau vendor tersebut, apakah pemberian hadiah itu tetap akan terjadi?. 

       Tak bisa dipungkiri, lingkungan pemasyarakatan merupakan institusi yang sangat rentan dalam menghadapi ancaman gratifikasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya melakukan pelayanan dan pembinaan terhadap tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Lapas dan Rutan, sebagai institusi pelaksana pelayanan terhadap tahanan dan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), tidak hanya menjalankan fungsi teknis penegakan hukum, tetapi juga secara langsung berinteraksi dengan berbagai pihak seperti keluarga tahanan dan WBP, instansi pemerintah, organisasi masyarakat, bahkan pejabat pengawas baik internal maupun eksternal.  Interaksi ini kerap menjadi titik rawan terjadinya gratifikasi. Hal ini dikarenakan lingkungan pemasyarakatan sangat identik berkaitan dengan pelayanan publik, pemberian dan pemenuhan hak kepada WBP dan tahanan, pelaksanaan pembinaan, hingga tata cara penyambutan tamu baik dari pihak internal maupun eksternal. Pemberian hadiah sekecil apapun kepada petugas pemasyarakatan baik di Lapas maupun Rutan, terlebih kepada pihak yang memiliki kewenangan pengawasan atau pengambilan keputusan, dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk membangun kedekatan yang berujung pada pemberian fasilitas tertentu yang melanggar aturan. Dalam kacamata hukum, gratifikasi bukan hanya soal jumlah atau nilai barang yang diberikan, tetapi juga soal konteks, maksud, dan potensi pengaruh terhadap integritas tugas.

      Melalui kajian persimpangan antara budaya ketimuran dan integritas hukum, penulis ingin menunjukkan bahwa pembatasan yang jelas antara pemberian sukarela dan gratifikasi merupakan langkah strategis untuk menumbuhkan budaya kerja anti korupsi di lingkungan pemasyarakatan. Kejelasan batas ini akan menjadi fondasi perilaku kerja yang berintegritas, selaras dengan visi bagi pegawai Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) dalam membangun birokrasi bersih dan bebas dari praktik korupsi.

B. Isu atau Permasalahan

      Garis batas antara pemberian sukarela atau gratfikasi di Lingkungan Pemasyarakatan memang menjadi isu krusial yang kerap menimbulkan multi tafsir (penafsiran ganda) dalam praktiknya di lapangan. Salah satu contoh dilema yang kerap menjadi pertanyaan antara pemberian sukarela atau gratifikasi yakni dalam hal kegiatan seremonial untuk penyambutan tamu ataupun pejabat yang melakukan kunjungan dalam rangka monitoring evaluasi ataupun audit keuangan dan sarana prasarana, di mana cinderamata yang diberikan merupakan hasil karya WBP yang dihasilkan dari program pembinaan kemandirian. Pertanyaan yang muncul yakni apakah pemberian cinderamata tersebut dapat dianggap sebagai hal yang wajar dan positif sebagai bentuk branding untuk memperkenalkan kualitas produk WBP sekaligus sebagai bentuk penghormatan atas kunjungan tamu atau tim audit/pengawas ataukah pemberian hasil karya tersebut merupakan bagian dari gratifikasi yang dapat mempengaruhi obyektifitas pengawas?. Jika ditinjau dari perspektif budaya/kultural, tindakan ini seolah tidak bermasalah sebab pemberiannya dilakukan secara terbuka, nilainya tidak seberapa dibandingkan tujuan pembinaan, dan dianggap mempererat hubungan baik antar pribadi maupun instansi. Namun, dari sudut pandang hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, pemberian tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), hal ini dikhawatirkan dapat memengaruhi independensi penilaian auditor, atau minimal menimbulkan persepsi publik yang negatif.

      Dilema inilah yang menjadi titik krusial pembahasan, bagaimana menempatkan batas yang jelas antara pemberian sukarela sebagai bagian dari budaya ketimuran, sebagai bentuk penghormatan, serta jamuan terhadap tamu, dengan gratifikasi yang harus dilaporkan atau ditolak demi menjaga integritas institusi. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah semua pemberian yang lahir dari niat baik otomatis dapat dibenarkan secara hukum, ataukah niat baik itu tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip integritas dan pencegahan korupsi?.

C. Analisis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun