Polemik pengadaan Helikopter AgustaWestland AW101 (AW 101) di tubuh TNI memang mengundang kejanggalan dan banyak pertanyaan. Sebenarnya ada apa dibalik ini. Kenapa Menteri Pertahanan dan Panglima TNI saling melempar tanggung jawab dengan mengaku tidak tahu menahu pembelian heli tersebut.
Lantas bagaimana anggaran dari Departemen Keuangan bisa cair jika kedua pejabat selevel Menteri dan Panglima bisa tidak tahu? Apakah pejabat selevel dibawah Panglima dan Menteri bisa meminta secara langsung ke Menteri Keuangan tanpa persetujuan dari Menhan dan Panglima TNI selaku atasan yang bisa memberikan persetujuan atau tidak.
Ada beberapa hal yang harus dikritisi terkait polemik pembelian AW 101. Jangan terlalu mudah dan terlalu dini kita menuduh prajurit TNI AU bersalah. Seorang prajurit tetaplah seorang prajurit. Dalam hierarki militer, seorang prajurit wajib tunduk pada Undang-Undang dan komandan.
Sehingga buat penulis terasa janggal jika kemudian seorang Panglima TNI menyalahkan prajuritnya. Apakah benar Panglima benar-benar tidak tahu adanya pembelian Heli AW 101. Kok rasanya penulis tidak percaya. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi.
Pertama, soal pengakuan Ryamizard Ryacudu selaku Menhan dan Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI yang mengaku tidak tahu menahu pembelian AW101. Penulis mengutip pendapat Direktur Eksekutif Institute for Defence Security dan Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim.
Menurut Mufti, cukup aneh dan menjadi pertanyaan besar jika Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sampai tidak tahu menahu soal pembelian helikopter buatan Inggris tersebut. Ironisnya klaim ketidaktahuan ini dilontarkan di depan Komisi I DPR, saat rapat kerja Senin 6 Februari 2017 silam.
Menteri Pertahanan Ryamizard mengatakan, AW101 pada awalnya dipesan untuk helikopter kepresidenan, sehingga ada kemungkinan dibeli melalui Sekretariat Negara.
Sebelas dua belas Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga mengaku tidak tahu soal pembelian helikopter itu. Ia menyinggung adanya Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara yang mengurangi kewenangannya sebagai Panglima TNI.
Penulis mengutip pandangan Mufti Makarim, bahwa mekanisme usulan pengadaan alutsista bersifat bottom-up. Artinya, usulan pengadaan berdasarkan usulan spesifikasi dan kebutuhan dari masing-masing angkatan atau matra.
Dari usulan tersebut pengambilan keputusan berada pada tingkat kementerian, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas
Usulan kebutuhan alutsista itu berasal dari masing-masing matra ke Kemenhan karena mereka user  (pengguna). Tapi soal keputusan pembelian tetap ada di Kemenhan. Begitu pandangan Mufti Makarim dalam sebuah artikelnya di media.