Mohon tunggu...
Edward Theodorus
Edward Theodorus Mohon Tunggu... Dosen - Dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma

Warga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Stopmap Diamond, Koper Butut, & Monyet di Bumi Manusia: Sebuah Ulasan Film

22 Agustus 2019   10:25 Diperbarui: 22 Agustus 2019   10:40 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari https://wartakota.tribunnews.com

Saya kagum terhadap para pembuat film yang menurut saya berhasil menangkap dan menggambarkan gagasan-gagasan yang mendalam dan tersembunyi dari Pram dalam film Bumi Manusia ini. Misalnya gagasan mengenai cinta dan tragedi yang merupakan dua sisi dari satu koin yang sama. 

Jika kita ingin mencinta, kita perlu sanggup menanggung tragedi yang menyertainya. Entah itu cinta terhadap orang yang kita kasihi, maupun cinta terhadap bangsa dan negara kita. 

Ada juga gagasan mengenai tidak masuk akalnya penjajahan dan penindasan. Selain itu, ada pemikiran tentang perjuangan melawan menggunakan senjata pena (atau mesin ketik, atau media sosial di zaman now).

Pemikiran-pemikiran tersebut disuguhkan dalam film sedemikian rupa sehingga dapat disaksikan oleh para penonton yang mampu melihat apa yang tersirat di balik apa yang kelihatan.

 Bagi penonton lain yang hanya menangkap "permukaan", seperti penampilan para aktor-aktris terkenal dengan jalan cerita  dan akting yang agak ke-sinetron-sinetron-an, saya rasa mereka tidak akan dikecewakan. 

Toh, kita tidak harus jadi intelektual untuk dapat menikmati film. Ini serupa dengan film "The Matrix" (1999) yang memperlihatkan aksi sekaligus filosofi. Penonton yang tidak dapat menangkap filosofi film Matrix dapat hanya menikmati aksi kungfu dan tembak-tembakannya.

Satu lagi simbol tersembunyi yang saya tangkap dari film ini. Koper butut Nyai Ontosoroh. Ketika Nyai Ontosoroh muda, dia dijual oleh bapaknya kepada Herman Mellema demi uang dan jabatan. Sebuah koper menyertainya saat dia diambil paksa dari rumahnya untuk diberikan kepada Herman Mellema.

 Ibu dari Nyai Ontosoroh muda diperankan oleh Mbak Nunung, yang saya kenal dari kegiatan pelatihan di Padepokan Seni Bagong Kussudiarjo. 

Koper yang sama digunakan juga oleh Annelies Mellema ketika dia diambil paksa dari rumahnya. Jika kita mencermati jalan cerita film, terlihat bahwa Nyai Ontosoroh sudah berjuang dengan sebaik-baiknya hingga menjadi sangat kompeten mengelola perusahaan susu Mellema. 

Kita sesaat terkecoh bahwa dia telah berhasil menjadi orang terpandang. Semua itu sirna seketika saat anaknya meminta koper bututnya. Ternyata tidak ada perubahan nasib. Anak Nyai Ontosoroh masih bernasib sama seperti ibunya, diperlakukan seperti barang yang diperjualbelikan.    

Seperti itukah Indonesia saat ini? Kelihatannya saja sudah merdeka, sangat kompeten dalam mengelola demokrasi. Namun, apakah nasib kita sebenarnya tak jauh berbeda dengan situasi 1945? Apakah kita sedang membawa koper butut Soekarno-Hatta? Dulu, orang-orang Belanda, keturunan Tionghoa, dan Indo berperan menjadi penindas, merendahkan kaum pribumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun