Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilihan OSIS Salah Satu SMA di Jakarta Diwarnai Politik Identitas, Siapa Pemenang?

28 Oktober 2020   21:54 Diperbarui: 28 Oktober 2020   22:23 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TANGKAPAN LAYAR WhatsApp yang viral menunjukkan guru di SMAN 58 Jakarta mengarahkan agar anggota grup memilih pasangan Ketua OSIS yang beragama non-muslim. Kebetulan ada tiga pasang. Nomor satu dan dua ada unsur siswa dari agama minoritas.

Sedangkan pasangan ketiga calon ketua dan wakil ketua beragama Islam. "Assalamualaikum...hati2 memilih ketua OSIS Paslon 1 dan 2 Calon non Islam...jd ttp walau bagaimana kita mayoritas hrs punya ketua yg se Aqidah dgn kita," bunyi pesan tersebut sebagaimana dikutip dari laman detik.com, Rabu 28 Oktober 2020.

Sang Kepala Sekolah Dwi Arsono membenarkan mengenai pesan WhatsApp tersebut. Ia mengatakan bahwa pesan itu hanya untuk siswa yang tergabung di kelompok Rohis dari sang guru yang bersangkutan. Alias terbatas untuk anggota grup bukan untuk mayoritas siswa.

Bocornya pesan tersebut, kata Dwi, sebagai keteledoran guru. Namun, ia juga menyayangkan karena pesan itu bisa viral. Ternyata, ia menambahkan, karena bocor kepada siswa yang beragama lain. Pesan pun menjadi liar kemana-mana.

Apakah situasi ini masuk kategori politik identitas meski terjadi di kancah pemilihan organisasi siswa?

Sejarawan dan sosiolog Jeffret Weeks menjelaskan bahwa politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan.

Biopolitik  mendasarkan  diri  pada perbedaan-perbedaan  yang  timbul dari  perbedaan  tubuh.  Identitas berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Politik Identitas yang terjadi pada negara dan masyarakat modern mulai mengemuka ke publik sejak 1994. Saat itu, diselenggarakan simposium internasional asosiasi ilmuwan politik di Wina, Austria.

Para ahli sepakat bahwa fokus utama dari politik identitas yaitu perbedaan tetapi yang menjanjikan suatu kebebasan dan toleransi. Namun, pada sisi buruknya  diksi ini lebih condong pada sisi negatif yaitu rasisme, biofeminisme, dan perselisihan etnis.

Apa yang terjadi kemudian adalah praktik kekerasan karena entitas-entitas perbedaan, misalnya kesukuan ataupun agama.  Konflik itu menjadi subur dalam politik yang dilatari situasi negara atau masyarakat yang multikultural dan multietnis.

Itu sebabnya dibutuhkan sikap toleransi yang menjamin kerangka etis hubungan interaktif antar kelompok perbedaan. Kondisi ini hanya bisa tercipta pada situasi politik negara yang demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun