Kalau pun, misalnya, masih saja tetap ingin memasukkan kritik, disarankan untuk mengemas kritik tersebut sedemikian rupa agar tak terasa pahit bagi yang dikritik.Â
Dengan kata lain, si penerima kritik tidak menjadi sakit hati atau tersinggung. Maka, kita harus pandai-pandai mengemas kritik agar sampai pada maksudnya tanpa harus melukai hati si penerima.
Kita memang harus selalu ingat bahwa manusia, siapa pun dia, lebih banyak dikendalikan oleh perasaan (emosi). Jika perasaan manusia sudah tersinggung, apalagi sangat tersinggung dan terluka, maka kemarahan dan perseteruan pun sulit dihindari.
Hal yang sering terjadi adalah kritik akan dibalas kritik, semakin lama semakin panas, bagai perang dingin atau perang urat syaraf. Anda pernah mengalaminya? Atau, bahkan bisa menunjukkan contohnya dalam kehidupan sehari-hari?
Melihat Hal-hal Positif
Lebih baik, menurut saya, kita menonjolkan hal-hal positif pada seseorang. Hal-hal itulah yang kita ungkapkan sehingga terjadi penguatan pada sikap-sikap baik orang tersebut dan merembet pada perbaikan terhadap sikap kurang baik yang mungkin kita lihat.
Dengan menyentuh hal-hal positif yang dimiliki seseorang, maka akan ada kecenderungan yang bersangkutan memperkuat sikap dan perilaku baiknya itu sekaligus mengurangi hal-hal yang kurang baik pada dirinya.
Layaknya seperti bermain karambol atau bola sodok, kita menyodok bola tertentu agar memantul dan mengenai bola lainnya. Begitulah seni berkomunikasi yang tak bisa lepas dari psikologi manusia sebagai dasarnya.
Masih tidak yakin dengan pernyataan ini? Coba saja kritik orang terdekat Anda, istri atau suami Anda. Jangan berhenti mengkritik setiap kekurangan, kesalahan, dan kekhilafannya.
Maka, bersiap-siaplah Anda menerima perlawanan dan bahkan pernyataan perang! Rumah pun dapat dipastikan akan menjadi medan pertempuran yang tak berkesudahan! Alih-alih melontarkan kritik demi kritik, mengapa tidak memberikan pujian?
Memberikan Pujian