Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kritik, Adakah Cara Bijak Menghadapinya?

20 Mei 2020   19:01 Diperbarui: 21 Mei 2020   16:12 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Fortune.com/Getty Images)

Saya mengetahui ada orang-orang yang setiap menulis di media sosial atau berbicara di radio, isinya kritik melulu. Selalu saja ada sasaran untuk dikritik. Sepertinya ia dilahirkan untuk menjadi tukang kritik. Tidak mau tahu kritikannya benar atau salah, rasional atau tidak, yang penting dapat mengkritik maka ia akan senang.

Yang mengkritik di radio, misalnya, ia  menyodok kebijakan pemerintah atau mengkritik si A, si B, si C, atas segala sesuatu yang dilakukan. Yang di media sosial, tak ada bedanya. Si pengkritik selalu hadir dengan "memberikan angka merah" terhadap kebijakan pemerintah atau orang lain. Tak pernah ada kata atau tulisan yang positif apalagi mendukung suatu kebijakan.

Kritik yang Cenderung Kasar
Bagi orang yang menjadi sasaran kritik itu tentu akan panas hatinya karena kritik yang dilontarkan sama sekali tak berdasar, tanpa data, apriori, dan sekadar pendapat pribadi.

Ketika dia mengkritik dengan narasi kasar dan menunding kesalahan atau kekurangan orang lain atau lembaga tertentu di media sosial, lalu banyak orang yang masuk dan nimbrung berkomentar dan mengkritiknya balik.

Mereka yang berkomentar lantas bertanya balik kepada si pengkritik jempolan itu. Diantaranya, "Lebih bagus Bapak berbuat nyata daripada sekadar melontarkan kritik dan nyinyir terus-menerus  di medsos." "Tunjukkan, wujudkan kerja nyata Bapak!" "Apa yang Pak lakukan ketika dulu pernah menjadi penggede?"

Demikianlah kurang-lebih komentar mereka yang membaca kritikan tersebut di media sosial. Anehnya lagi, nyaris tak ada tanggapan dari si pelontar kritik terhadap komentar terhadap dirinya yang muncul kemudian.

Kendati demikian, dalam beberapa hari kemudian, ia akan unggah lagi kritik lainnya, tanpa mau menanggapi komentar yang masuk, sama dengan sebelumnya. Akhirnya, orang menyebutnya sebagai manusia yang tidak waras atau orang yang sakit hati.

Menghadapi Kritik
Kritik yang konstruktif tentu saja baik. Siapa pun akan menerimanya. Kritik yang baik pasti ada dasarnya dan disampaikan melalui saluran yang tepat dan tidak melupakan etika. Kalau kritik semacam itu tentu si penerima akan dengan senang hati memerhatikan dan merespon dan bahkan berterima kasih atas kritik yang dilontarkan.

Tetapi kritik yang membabi buta, tanpa dasar, tanpa data, terlebih-lebih tanpa etika, apalagi disampaikan di media atau di depan publik, siapa yang tidak salah terima alias tersinggung berat? Kritik ya kritik, tapi seyogianya dilakukan dengan cara yang baik, bukan?

Secara substantif, kritik itu adalah masukan berupa koreksi yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan untuk menjadi lebih baik kemudian hari. Mereka yang menerima kritik seyogianya menjadikan kritik itu sebagai bahan untuk tujuan perbaikan.

Usahakan jangan alergi terhadap kritik. Sebab, seperti dikatakan oleh Aristoteles, "There is only one way to avoid criticism: do nothing, say nothing, and be nothing."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun