Mengapa berbicara itu penting? Ketika pertanyaan ini diajukan, lalu apa jawab kita? Salah satunya, mungkin kita akan mengatakan bahwa berbicara adalah kodrat sebagai manusia sehingga harus digunakan.
Kemampuan berbicara juga merupakan keunggulan spesifik spesies manusia dan dengan kemampuan itu manusia bisa saling bertukar ide atau gagasan dan informasi satu dengan lainnya. Bersyukurlah orang-orang yang memiliki kemampuan berbicara dan menggunakan kemampuan ini dengan baik.
Belajar Berbicara Sejak Balita
Lalu, apakah kemampuan berbicara itu sebuah kemampuan bawaan? Mungkin ya, lantaran hanya manusia yang diberikan kemampuan spesifik itu, yang membedakannya dengan makhluk lain di muka bumi. Akan tetapi, manusia tak serta merta menjadi pandai berbicara jika dia tidak belajar. Ingatlah ketika kita masih balita, betapa orang tua kita melatih kita mengucapkan kata-kata sederhana, seperti maem, ayah, ibu, bobok, pipis, dan sebagainya.
Bersamaan dengan bertambahnya usia, kita pun mulai berlatih dan dilatih meningkatkan kemampuan berbahasa, lisan dan tulisan. Kita mulai bisa mengorganisasikan ide-ide dalam pikiran untuk kita ekspresikan menjadi sebuah kalimat yang utuh. Kita terus berusaha agar apa yang kita maksudkan dapat mengerti oleh lawan bicara. Untuk sebagian yang lebih serius, lalu belajar berpidato (public speaking). Pelatihan berpidato mengantar kita menjadi pembicara yang baik, terutama ketika harus berpidato di depan publik.
Beberapa Kebiasaan Buruk Saat Berpidato
Dalam praktik berbicara, termasuk berpidato, acapkali ada hal-hal yang menghambat kita tidak bisa berbicara secara efektif. Terdapat kebiasaan-kebiasaan buruk yang selalu kita ulang-ulang, terkadang bahkan tanpa disadari. Sejatinya, kebiasaan buruk itu bisa dihilangkan jika kita benar-benar ingin menjadi pembicara yang lebih baik.
Misalnya, mengulang kata-kata tertentu yang tidak perlu. Seorang sahabat, ketika berpidato atau memimpin rapat, seringkali mengulang-ulang kalimat "apa namanya." Padahal, ia tidak bermaksud bertanya kepada pendengarnya. Ketika berbicara selama sepuluh menit, paling tidak dua puluh kali kata "apa namanya" diulang. Ini tentu cukup mengganggu pendengar. Jika kalimat "apa namanya" itu ditiadakan, pidatonya pasti akan lebih bersih dan jernih.
Contoh berikut adalah penggunaan kata "daripada." Seorang sahabat sering menggukan kata "daripada" di dalam pembicaraan, padahal kata itu tidak cocok dan tidak perlu diletakkan dalam kalimat yang disampaikannya. Misalnya, ia mengatakan, "Apa yang dikatakan daripada Bapak tadi, sangat bermanfaat bagi kami. Akibat perkembangan daripada pariwisata di daerah ini..."
Saya sendiri, ketika dulu mulai belajar berbicara di depan umum, mengalami banyak sekali kesalahan. Beruntung atasan saya yang berbaik hati memberi koreksi. Misalnya, saya sering mengawali berbicara dengan ucapan "eee," vokal yang tak jelas maksudnya.
Sebenarnya, ketika "eee" terucap, saya sedang berpikir tentang apa yang saya akan katakan selanjutnya. Kata atasan saya, sebaiknya sembari berpikir, jangan berkata apapun, termasuk "eee" itu. Benar juga ya.