Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Diawali dari Masjid Sultan, Ditengahi oleh Masjid Melaka, dan Diakhiri di Masjid Putra

18 Maret 2025   13:14 Diperbarui: 19 Maret 2025   11:01 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Sultan di Singapura dari tampak depan. (Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)

Jika membaca judul di atas, Anda semua pasti merasa heran dengan apa yang dimaksud dalam frasa tersebut. Sebetulnya, tidak ada maksud apa-apa selain hanya ingin bercerita tentang oleh-oleh dari lawatan masjid ke masjid di berbagai negara jiran (tetangga) yang terdekat dengan Indonesia.

Setiap saya bertugas ke luar negeri, hal pertama yang dilakukan adalah berusaha menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajiban salat wajib dan sunnah di masjid yang ada di kota-kota di negara tersebut terutama pada saat salat Jumat.

Ada nuansa yang berbeda yang bisa menambah kadar keimanan diri dengan hadir di masjid negara lain. Tujuan lain juga untuk melihat kemegahan atau arsitektur masjid di situ. Bisa ditemui adanya berbagai etnis dan ras manusia menjadi saudara sendiri saat bertemu dan bersatu padu melaksanakan salat berjemaah.

Baca juga : Gara-Gara Memfoto Satu dari Lima Masjid Ini!, Saya Ditangkap Polisi

Seperti saat masih mengikuti Shortcourse di Perth, Australia Barat beberapa tahun lalu, setiap salat Jumat, saya berusaha untuk berpindah masjid agar mendapatkan pengalaman rohani yang berbeda. Salah Satunya adalah sewaktu ada seorang khotib berkulit hitam legam yang berdiri di mimbar. Bisa diduga, dia pasti berasal dari salah satu negara di Afrika.

Materi khotbahnya sangat menyejukkan hati para jamaah. Terlihat jelas kemampuan bahasa Inggrisnya yang fasih dan juga kemampuan agamanya, terutama bahasa Arabnya. Sedihnya, kadang-kadang, masih banyak orang di antara kita yang selalu memandang rendah orang lain berdasarkan perbedaan warna kulit yang padahal semua ras manusia itu diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang sederajat.

Hal yang kedua adalah ada salah satu masjid di Kota Perth yang bangunannya masih berbentuk Klenteng (Tempat sembahyang umat Kong Hu Cu) dan sudah dibeli oleh komunitas muslim.  Selanjutnya, tempat itu dialihfungsikan menjadi masjid. Uniknya, sampai sekarang bangunan tersebut masih utuh apa adanya dengan menambah tempat air untuk berwudhu saja.

Juga masih ada lagi saat saya berada di Kota Seoul, Korea Selatan, selalu menyempatkan diri juga untuk salat di Masjid Agung yang terletak di downtown di daerah Itaewon. Lingkungan di daerah tersebut banyak dihuni oleh para imigran muslim dari Timur Tengah, India dan juga Bangladesh.

Bentuk bangunan masjidnya, sepintas seperti arsitek kebanyakan masjid di Indonesia. Jadi jika berada di dalamnya, serasa ada di masjid-masjid di tanah air. Hal yang membedakan hanya pada para jamaahnya yang sudah mulai terlihat adanya banyak mualaf dari warga Korea Selatan yang ikut hadir saat salat.

Sahabat saya, dari kiri Mas Bagus, Pak Islam dan penulis di Masjid Sultan, Singapura. (Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)
Sahabat saya, dari kiri Mas Bagus, Pak Islam dan penulis di Masjid Sultan, Singapura. (Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun