Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Karakter dan Budaya Bangsa

23 Februari 2010   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membangun Karakter dan Budaya Bangsa

Oleh : Dzulfian Syafrian

“Britain rules the wave”. Itulah idiom yang terkenal di Inggris. Tak ada yang memungkiri bahwa Inggris adalah rajanya lautan. Dari zaman dahulu hingga kini, Inggris selalu ditakuti di lautan.

Wajar jika Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) menjadi yang terbesar dan terkuat di dunia lebih dari dua abad lamanya dari tahun 1692 hingga perang dunia ke II. Bahkan hingga kini, Inggris masih mempertahankan predikatnya sebagai angkatan laut terbesar di Eropa.

Ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan yang baru. Itulah semangat kaizen yang melekat erat di hati orang-orang Jepang. Semangat terus belajar dan melakukan perbaikan begitu kental bagi orang Jepang. Wajar jika Jepang menjadi negeri yang begitu inovatif dan produktif dalam segala bidang.

Selain itu, ada pula budaya atau tata cara minum teh ala Jepang (sado) yang mengajarkan nilai-nilai spiritualitas, kesempurnaan, dan keteraturan, mirip seperti kepribadian orang-orang Jepang yang terkenal teratur dan disiplin. Dengan nilai-nilai seperti ini, Tidaklah mengherankan jika barang-barang produksi Jepang memiliki ciri kualitas jempolan.

Lain lagi dengan Cina, Cina sekarang telah menjelma menjadi kekuatan baru di dunia. Cina mampu mengalahkan Jerman sebagai negara eksportir terbesar di dunia. WTO mencatat, ekspor barang Cina selama enam bulan pertama 2009 mencapai USD521,7 miliar, sementara Jerman sebesar USD521,6 miliar.
Tak ada rotan, akar pun jadi. Mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan budaya orang Cina. Segala sesuatu mampu diproduksinya, semua barang dapat ditirunya. Kualitas memang menjadi prioritas kedua bagi Cina, namun jangan coba-coba mengadu harga dengan produk Cina.
Harganya yang murah menjadi added value utama bagi barang-barang buatan Cina. Reaksi yang cukup besar terkait penerapan ACFTA di Indonesia merupakan bukti nyata adanya ketakutan pengusaha kita tidak dapat bersaing dengan serbuan barang-barang dari Cina.

Berjalan ke selatan dari Cina, kita akan menemui negeri yang terkenal dengan ajaran swadeshi-nya. Itulah India dengan Mahatma Gandhi sebagai tokoh pergerakannya. Gerakan anti-subordinasi, gerakan anti-ketergantungan, dan mengajarkan nilai-nilai kemandirian adalah ruh dari ajaran swadeshi.

Perlahan tapi pasti, kini India telah menjelma menjadi salah satu negara yang cukup prospektif khususnya di bidang teknologi dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi India terus melaju dengan cepat.

Sebelum krisis terjadi pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi India selalu di atas 8 persen. Tercatat dalam beberapa tahun terkahir, hanya Cina yang mampu mengalahkan laju pertumbuhan ekonomi India. Di tengah terpaan badai krisis finansial global saja India mampu bertahan dengan pertumbuhan sekitar 6,7 persen.

Sebenarnya, Indonesia juga memiliki jargon-jargon luhur. Waktu kecil dulu kita diajarkan sebuah lagu yang menceritakan bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Pelaut yang handal dan gagah berani. Bukankah ini tidak kalah hebat dengan ”Britain rules the wave” milik Inggris.

Jika di India dikenal dengan istilah swadeshi, bukankah Bung Karno juga pernah melontarkan istilah berdikari yang secara substansi tidak terlalu berbeda. Begitu pula dengan tiada rotan akar pun jadi. Bukankah itu peribahasa yang begitu familiar di telinga orang Indonesia, lantas kenapa seolah kita tidak mengamalkannya?

Lalu sebenarnya karakter apa yang dimiliki orang Indonesia? Muchtar Lubis dalam bukunya Ciri Manusia Indonesia menyebutkan beberapa ciri orang Indonesia. Beberapa di antaranya adalah hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan boros.

Jika kita lihat lebih dalam pendapat Muchtar Lubis, praktis hanya artistik saja yang merupakan nilai-nilai positif yang dimiliki orang Indonesia. Selebihnya adalah budaya buruk yang seolah telah mendarah daging. Apa yang diutarakan oleh Muchtar Lubis nampaknya tidaklah berlebihan. Masih begitu banyak kecentangperenangan bangsa ini yang disebabkan oleh lemahnya karakter dan doyongnya budaya.

Oleh karena itu, pembangunan karakter dan budaya hendaknya dijadikan prioritas utama pembangunan bangsa ini ke depannya. Pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan manusianya. Inilah hakikat mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertera dalam UUD 1945. pembangunan yang berdasarkan pembangunan manusia seutuhnya, bukan hanya pembangunan ekonomi, politik, hukum, semata. Karena pembangunan manusia adalah investasi dan modal utama pembangunan sebuah bangsa. Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun