Beberapa tahun terakhir, kemacetan di Samarinda seolah menjadi bagian dari rutinitas harian. Dari pagi hingga sore, hampir semua ruas jalan utama dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat. Jalanan di sekitar Simpang Empat Lembuswana, Jalan Juanda, hingga kawasan Kampus Universitas Mulawarman sering kali menjadi titik kemacetan yang tidak terhindarkan. Samarinda yang dulunya dikenal sebagai kota yang tenang, kini berubah menjadi kota yang padat dan sesak.
Pertumbuhan kendaraan di Samarinda meningkat pesat seiring pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Hampir setiap keluarga kini memiliki lebih dari satu kendaraan, bahkan tidak sedikit mahasiswa atau pelajar yang sudah membawa motor sendiri ke kampus atau sekolah. Sayangnya, peningkatan jumlah kendaraan tidak diimbangi dengan infrastruktur jalan yang memadai. Lebar jalan masih sama, tapi jumlah kendaraan meningkat berlipat ganda. Akibatnya, jalanan yang seharusnya lancar kini menjadi lautan kendaraan setiap jam sibuk.
Namun, penyebab kemacetan bukan hanya soal jumlah kendaraan. Faktor perilaku pengendara juga memiliki peran besar dalam memperparah situasi lalu lintas. Masih banyak pengendara yang berhenti sembarangan, melawan arus, atau parkir di bahu jalan. Fenomena “berhenti sejenak” untuk membeli makanan, menurunkan penumpang, atau menunggu teman di pinggir jalan sering kali membuat arus lalu lintas tersendat. Hal-hal kecil seperti inilah yang justru menimbulkan kemacetan panjang.
Selain itu, rendahnya kesadaran berlalu lintas juga terlihat dari kurangnya kedisiplinan terhadap rambu-rambu jalan. Lampu merah sering diabaikan, pengendara motor naik ke trotoar, dan suara klakson menjadi musik latar yang tidak pernah berhenti. Perilaku seperti ini bukan hanya mencerminkan kurangnya etika berkendara, tetapi juga menunjukkan lemahnya budaya tertib di ruang publik.
Masalah kemacetan di Samarinda semakin kompleks karena banyaknya titik parkir liar di pinggir jalan. Beberapa kawasan perdagangan seperti Jalan Pahlawan dan Pasar Segiri misalnya, sering menjadi langganan kemacetan karena kendaraan parkir sembarangan. Petugas sudah sering menertibkan, tetapi kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan masih minim. Bahkan, tidak jarang masyarakat justru menolak ditegur dan menganggap parkir di pinggir jalan sebagai hal yang wajar.
Pemerintah Kota Samarinda sebenarnya sudah berupaya mencari solusi, seperti menambah rambu lalu lintas, menertibkan parkir liar, dan melakukan rekayasa jalan di beberapa titik padat. Pembangunan flyover di kawasan Juanda misalnya, diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurai kepadatan arus. Namun, tanpa kesadaran kolektif dari masyarakat, semua kebijakan itu tidak akan efektif. Jalan bukan hanya milik satu orang, dan lalu lintas tidak akan tertib jika setiap orang merasa “paling benar” di jalan.
Sebagai masyarakat yang hidup di kota yang terus berkembang, kita perlu memahami bahwa ketertiban lalu lintas bukan hanya soal peraturan, tetapi juga soal kepedulian. Menjaga jarak aman, memberi jalan bagi pejalan kaki, dan tidak memaksakan diri untuk menyalip di tempat sempit adalah bentuk sederhana dari etika berkendara. Sayangnya, hal-hal sederhana ini sering diabaikan karena ego dan keinginan untuk cepat sampai. Padahal, kemacetan yang dihasilkan justru membuat semua orang terlambat.
Kemacetan memang tidak bisa dihapus sepenuhnya, karena kota besar identik dengan kepadatan lalu lintas. Namun, tingkat kemacetan bisa dikurangi jika setiap pengendara mulai bertanggung jawab terhadap perilakunya. Edukasi berlalu lintas perlu ditanamkan sejak dini, bukan hanya di sekolah, tetapi juga melalui komunitas masyarakat dan kampus.
Di era digital saat ini, informasi tentang keselamatan berkendara mudah diakses, tetapi praktiknya di lapangan masih jauh dari ideal. Oleh karena itu, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan pemerintah atau kondisi jalan. Perubahan nyata justru dimulai dari diri sendiri. Jika setiap pengendara mau disiplin, menghargai pengguna jalan lain, dan mematuhi aturan, maka jalanan Samarinda akan jauh lebih tertib dan nyaman.
Kota yang maju bukan hanya dilihat dari gedung tingginya, tetapi juga dari perilaku warganya di jalan raya. Mari kita jadikan Samarinda bukan hanya kota yang sibuk, tapi juga kota yang tertib, aman, dan beradab. Karena sejatinya, wajah sebuah kota tercermin dari cara masyarakatnya berlalu lintas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI