Mohon tunggu...
diyanah shabitah
diyanah shabitah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga yang menyukai kemajuan teknologi. Inginnya sih menjadikan kemajuan teknologi dapat membantu kinerja sistem politik menjadi lebih baik dalam melayani dan mensejahterakan masyarkat.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Dokumenter "Ghost Fleet" (2019): Mimpi Buruk Perbudakan Modern dalam Praktek Illegal Fishing

5 Oktober 2019   14:45 Diperbarui: 5 Oktober 2019   15:10 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cover film dokumenter Ghost Fleet (2019)

Taukah kamu bahwa ikan tuna yang kamu konsumsi diperoleh dengan mengeksploitasi alam laut dan manusia? Film dokumenter milik Jeffry Waldorn dan Shannon Service (2019) menunjukkannya kepada publik kenyataan mengerikan dibalik proses illegal fishing.

Selama ini kita mengenal praktek illegal fishing hanya sebatas pada melakukan penangkapan ikan tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI). Namun, nyatanya dalam proses mendapatkan tenaga kerja, hingga memperlakukan tenaga kerja penangkap ikan pun mereka lakukan dengan cara-cara diluar hukum. Perbudakan yang kita kenal melalui sejarah. Tentang bagaimana manusia dulu hanya dianggap sebagai subjek yang tidak memiliki tujuan. Tenaganya dikuras habis, pikiran dan perasaannya direduksi dengan ancaman yang dibayang-bayang oleh kekerasan, serta perilaku diskriminasi lainnya. Sekarang bukan lagi mimpi buruk di kala tidur siang. Film Ghost Fleet menunjukkan bagaimana perbudakan modern telah terjadi dalam praktek  illegal fishing.

Perbudakan alias eksploitasi manusia ini mulai terungkap melalui perjalanan Patima dan suaminya sebagai seorang aktivis hak asasi manusia yang merupakan pendiri LPN (Labour Protection Network) di Thailand. Patima tidak bisa membiarkan kisah orang-orang yang telah diculik dari Thailand dan Myanmar (Burma) yang dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan untuk waktu yang lama. Lebih dari dua bahkan hingga puluhan tahun mereka tinggal di tengah-tengah lautan dan jauh dari daratan.

Pekerja yang berhasil melarikan diri, menjelaskan kepada Patima tentang kondisi mengerikan yang terjadi di kapal penangkap ikan. Termasuk kerja selama 20 jam/hari, bahkan jika cuaca sedang bagus mereka harus bekerja 22 jam/hari, pemukulan, penyiksaan, dan pembunuhan kepada rekan kerjanya yang telah mereka saksikan di depan mata mereka sendiri. Dan bagaimana mereka diberi obat (semacam metamfetamin) agar mereka tetap hidup dan menghasilkan ikan, walau tidak diberi perlakuan selayaknya manusia.  

Di samping itu praktek illegal fishing telah mengambil semua sumberdaya laut yang didapatkannya, termasuk hewan laut yang semestinya dilindungi. Menguras habis ikan tuna demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi. Padahal mereka seharusnya memahami bahwa alam ini bekerja secara seimbang, semua hewan dan tumbuhan memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Tuna juga harus disisakan untuk makanan ikan lainnya, agar ikan besar bisa tetap hidup demi menjaga keseimbangan ekosistem. Sehingga tidak bisa melakukan eksploitasi sesuka hati tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam. Sekalipun hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan pelayanan konsumen.

Yang menarik perhatian dari film ini juga adalah kegiatan illegal fishing ini sering terjadi di wilayah perairan Indonesia Timur. Sehingga  ketika para pekerja itu berusaha untuk menyelamatkan diri dari perbudakan, mereka selalu bertemu dengan daratan di desa Kaimana Papua. Mereka seperti menemukan keluarga baru di Papua. Mereka disambut, diberi makan, dan diberi tempat untuk tinggal juga diberi pekerjaan. Sikap masyarakat Indonesia yang permisif pada hal ini patut diapresiasi oleh khalayak.

Meskipun sudah keluar dari kapal yang bagai neraka itu. Tetap tidak ada harapan bagi mereka bisa pulang ke Burma maupun Thailand. Sebab, kartu identitas mereka dipalsukan dan mereka akan kembali terperangkap ke dalam kapal neraka itu. Sehinga tidak ada jalan bagi mereka untuk kembali, di sisi lain, mereka juga sudah membangun keluarga baru di Papua. Tapi rasa pilu dan khawatir akan tetap membayangi kehidupan keluarga ibu mereka di tanah kelahirannya. Dengan begitu Patima membantu para pekerja yang telah berhasil meloloskan diri untuk kembali ke negara asalnya dan bertemu dengan keluarganya. Pertemuan para pekerja dengan keluarga aslinya menjadi sisi emosional dari film dokumenter ini.

Dari seluruh rangakaian peristiwa yang didokumentasikan dalam film ini, menyampaikan suatu pesan bagi kita untuk menjadi konsumen yang cerdas dan bijak. Aktif mempertanyakan dari mana produk ini berasal? Apakah para perkerjanya diperlakukan dengan baik? Apakah seluruh prosedur mendapatkanya sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku? Dll. Maka, jadilah konsumen bijak yang loyal terhadap suatu produk maupun brand ketika diketahui segala prosesnya dilakukan dengan baik (seimbang).  

Semoga saja pemerintah bisa lebih proaktif dan bersegera dalam mengetahui dan menyelesaikan persoalan-persoalan human trafficking seperti ini.

Bagi temen-temen yang mau nonton dan pensaran dengan dokumenternya bisa akses melalui https://www.vulcanproductions.com/ghostfleet/thefilm.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun