Ada pendapat baru soal Kasus Gunadarma: Barter hukuman. Terduga pelaku pelecehan seks, sudah dihukum, ditelanjangi massa. Terjadi barter. Alhasil, impas. Kosong-kosong.
Hal itu tidak boleh terjadi, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya dalam siaran pers yang dibagikan Sabtu (17/12).
Halimah: "Tindakan Polres Depok menghentikan perkara pelecehan seks antar mahasiswa Universitas Gunadarma, adalah keliru. Seolah sudah terjadi barter hukuman. Terduga pelaku pelecehan seks, dihukum massa dengan cara ditelanjangi."
Pendapat ahli hukum terus bermunculan di Kasus Gunadarma. Tindak main hakim sendiri, sudah sangat banyak terjadi di Indonesia. Tapi, model kasus ini spesifik. Belum pernah terjadi.
Halimah tidak sependapat dengan Polres Depok menerapkan restorative justice di Kasus Gunadarma. Penerapan restorative justice di situ, keliru.
Pelecehan seksual, melanggar KUHP Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 tentang perbuatan cabul (tidak ada istilah pelecehan seks di KHUP), adalah delik aduan. Hanya diproses polisi, jika ada pengaduan pihak korban. Atau, sudah ada pengaduan lalu dicabut lagi, perkara pun harus ditutup polisi.
Maka, Polres Depok menerapkan restorative justice, karena korban mencabut laporan polisi. Lantas, korban dan pelaku berdamai. Perkara pun ditutup.
Menurut Hamilah, penerapan pasal itu juga keliru. Dikatakan begini:
"Merujuk pada Pasal 23 UU Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), seharusnya Polres Depok tidak menghentikan pengusutan kasus pelecehan seksual itu. Pasal 23 UU TPKS menyebutkan: Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan,"
Dilanjut: "Kecuali terhadap pelaku yang masih anak-anak. Sebagaimana diatur dalam undang-undang TPKS. Dengan demikian, Polres Depok harus melanjutkan proses hukum perkara itu, sekalipun korban telah mencabut laporan."