Dulu hasil Ujian Nasional (UN) menentukan kelulusan murid, sehingga murid jungkir balik begadang berlatih mengerjakan soal di rumah, ikut Pengayaan/pendalaman Materi (PM) di sekolah, bimbingan belajar di luar sekolah, kerja kelompok bersama teman. Â
Guru menyelesaikan target kurikulum di kelas 10 dan 11, di kelas 12 guru melatih dan mendorong murid mengerjakan soal-soal UN berulang-ulang (drill), melakukan uji coba berkali-kali untuk meningkatkan kecepatan murid dalam menyelesaikan soal. Sekolah menjadwalkan PM hingga lewat jadwal pulang sekolah yang membuat murid belajar lebih lama.Â
Sekolah melarang murid aktif di kegiatan ekstra kurikuler dan aktif di organisasi sekolah, harus fokus untuk UN. Sekolah mengadakan PM, ujicoba, mendatangkan bimbel ke sekolah, berdoa bersama, dsb. Ada greget, dorongan atau motivasi luar biasa untuk murid dalam pencapaian kelulusan, ditambah dengan dorongan dari dinas pendidikan atau kepala daerah yang berharap sekolah di daerah yang dipimpinnya bisa punya peringkat yang baik seantero negeri.Â
Kepala Sekolah ingin menunjukkan prestasi sekolah yang dipimpinnya, maka dia melakukan berbagai upaya untuk mencapai targetnya, bahkan ada yang seolah membiarkan murid melakukan apa saja demi memperoleh nilai bagus. Mungkin negara mulai sadar bahwa aturan syarat kelulusan menggunakan nilai UN itu keliru, dengan mengedepankan model pendekatan baru pendidikan karakter, syarat kelulusan tak lagi gunakan nilai UN.Â
Murid tak lagi kerja keras belajar untuk mendapat nilai melampaui batas minimal kelulusan, kini jadi lebih santai menghadapi UN, kecuali mereka yang berminat melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi. Sayangnya ada yang masih belum move on dengan membuat peringkat hasil UN yang seolah menghidupkan kembali roh UN yang diredupkan, mau sampai kapan?