Mohon tunggu...
Dwi Kurniadi
Dwi Kurniadi Mohon Tunggu... Supir - manusia biasa

manusia yang biasa aja.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Essai Teater Coro - Putu Wijaya

27 November 2021   12:05 Diperbarui: 27 November 2021   12:39 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Essai Coro -- Putu Wijaya

Terjadi situasi genting, ketika manusia tidak lagi manusiawi. Putu Wijaya, lewat Coro-nya ingin mengangkat suatu realita bahwa manusia yang satu dengan kekuasaan yang lebih tinggi menganggap manusia yang lain dengan posisi yang rendah adalah hal yang hina, perlu dimusnahkan, dan tidak perlu didengarkan pendapatnya. Bahkan jika ia tidak memusnahkan manusia yang lebih rendah posisinya, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar.

Diperankan oleh Agus Susilo yang merupakan pemain teater dengan jam terbang cukup tinggi, penonton sebenarnya dapat dengan sendirinya menentukan penafsiran mengenai pementasan teater monolog karya Putu Wijaya ini. Sehingga pembacaan sinopsis cerita di awal pementasan terkesan membunuh kreativitas penonton untuk menafsirkan hal atau pemikiran lain mengenai isi cerita yang akan ditampilkan.

Dipentaskan pada Open Stage FBS -- UNIMED Jumat, 26 November 2010 pada pukul 15.00, naskah monolog Coro yang tersaji dalam lima halaman kemudian dibawakan oleh Agus Susilo dengan waktu sekitar setengah jam.

Coro bercerita mengenai sosok mahluk manusia yang menyimpan kebencian dan rasa jijik yang amat dalam pada sesosok serangga yang dikenal orang dengan sebutan coro. Cerita ini dikemas dengan cukup sederhana oleh Putu Wijaya selaku penulis nakah. Terkesan biasa bagi sebagian orang karena menceritakan hal ihwal yang biasa kita temui pada kehidupan sehari-hari. Orang yang membenci sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap kotor, rendah, sumber penyakit, dan tak berguna. Tanpa pengecualian, manusia yang dikisahkan dalam cerita akan membunuh coro yang ditemuinya tanpa pikir panjang. Hingga pada suatu hari, sang manusia ketika pulang ke rumah menemukan coro di dalam rumahnya. Dia marah bukan main. Dia lantas mengejar coro dan hendak membinasakannya hingga terjadi pertikaian yang berwujud dialog antara manusia dan coro.


Thompson Hs selaku supervisor dan Ojax Manalu selaku Penata artistik, serta Agus Susilo selaku pemain berusaha bekerjasama dengan baik untuk menciptakan suatu pementasan yang memukau penonton. Naskah asli yang menceritakan seorang pejabat dengan pakaian rapi serta berdasi diadaptasi dengan unsur lokalitas daerah Sumatera Utara sehingga Agus Susilo tampil dengan pakaian seadanya berbalutkan ulos pada pinggangnya. Demikian juga penataan panggung dan musik yang mengiringi pementasan, memasukkan unsur-unsur kebudayaan Batak.

Beberapa hal terkait yang disebutkan diatas kemudian disebut "bingkai" oleh supervisor pementasan Thompson Hs pada sesi diskusi dan tanya jawab seputar "Coro". Thompson kemudian menjelaskan bahwa mengapresiasi naskah drama tentu saja berbeda halnya dengan mengapresiasi sebuah pementasan drama. Sebab sebuah naskah drama dapat saja "berubah" ditangan sang sutradara. Begitupun dengan bingkai cerita. Merupakan sesuatu hal yang lumrah dan sah-sah saja apabila kemudian sebuah naskah drama dipentaskan dengan mengaplikasiakan unsur suatu budaya. Menjadi suatu permasalahan kemudian, apabila unsur budaya yang dimasukkan ke dalam pementasan sama sekali tidak sinkron atau tidak sesuai dengan cerita yang dipentaskan. Seperti halnya beberapa adegan yang terdapat pada pementasan "Coro". Di awal pementasan, seorang perempuan muncul ke atas panggung dan memutari panggung sembari menyirami penonton dengan air. Yang entah air apa, sehingga untuk beberapa saat penonton terperangah heran.

Setting latar atau panggung yang juga mengadapatasi unsur kebudayaan batak pun tak kalah hebatnya berperan dalam memunculkan pertanyaan pada benak penonton. Bagaimana tidak? Pada sisi depan panggung selama berlangsungnya pertunjukan, dinyalakan dupa yang mengepulkan asap. Hanya berguna untuk menyesakkan nafas penonton , tidak lebih.

Pada akhirnya "bingkai" yang dipasangkan pada cerita menciptakan banyak pertanyaan pada benak penonton. Beberapa "bingkai" tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada jalannya cerita dan justru terlihat sebagai upaya untuk memperpanjang durasi pementasan. Memang, supervisor dan penata artistik pada pementasan kali ini adalah orang-orang yang terbiasa bergelut dengan opera batak, namun ternyata diperlukan juga seleksi ketat terhadap unsur-unsur budaya yang akan diaplikasikan terhadap suatu pementasan teater agar tidak membuat bingung penonton dan melakukan kemubaziran serta demi pementasan yang lebih baik di kemudian hari.

Pementasan akan segera selesai ketika seorang perempuan muncul berlari dari sisi kiri menuju sisi kanan panggung melewati Agus Susilo yang sedang berkonsentrasi pada perannya. Maka pementasan yang telah berjalan selama kurang lebih setengah jam pun buyar seketika, penonton beralih pandang pada adegan tak terduga yang baru saja terjadi. Sesama penonton saling tatap. Adakah adegan tersebut termasuk dalam cerita yang dipentaskan?. Agaknya tidak.

Beruntung bahwa Agus Susilo sebagai pemeran monolog dapat berlakon dengan cukup baik dan menguasai cerita walaupun logat batak yang dibawakannya terdengar "sedikit memaksa". Terdapat juga beberapa adegan yang tak dapat dicerna dengan baik oleh penonton. Diantaranya pada awal pementasan dimana manusia muncul dan menari-nari diiringi musik batak. Apakah sebenarnya yang ingin disampaikan? Atau lagi-lagi, adegan itu hanyalah sebuah usaha untuk mempresentasikan kebudayaan? Apakah yang sebenarnya ingin ditampilkan? Cerita atau kebudayaan (bingkai) ? Selanjutnya, sebagian besar penonton terlihat menahan rasa mual dan jijik yang cukup dahsyat ketika adegan memakan binatang coro ditampilkan. Panggung layaknya berubah menjadi arena uji nyali bagi orang yang ingin mencoba. Banyak penonton hanya terperangah, serta merta membalikkan badan menghindari pemandangan di depan. Kemubaziran terlihat jelas pada adegan terkakhir dimana Coro mengaku bahwa dia adalah buruh, petani, dan mahasiswa. Sementara penonton yang didominasi mahasiswa tentunya sudah dapat menafsirkan sendiri tanpa perlu memperjelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun