Mohon tunggu...
Dwi Haryanti
Dwi Haryanti Mohon Tunggu... Relawan - Bukan Pewayang

Tulislah apa yang bisa kau tulis, Kerjakan apa yang bisa kau kerjakan, yang penting mah seneng.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik Identitas, Pemilu Penuh SARA

5 Juni 2020   14:58 Diperbarui: 5 Juni 2020   16:47 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

'Politik identitas dimaknai sebagai suatu proses yang dibentuk melalui sistem bawah sadar manusia, sistem ini terjadi karena adanya ketidakpuasaan dalam menghadapi berbagai macam masalah-masalah sosial yang terjadi - Stuart Hall

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa politik identitas pada dasarnya adalah cara berpolitik yang mempersatukan kelompok karena adanya rasa ketidakpuasan yang didasari oleh persamaan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Jadi, secara tidak langsung politik identitas dapat berpengaruh baik dan buruk pada masyarakat misalnya sebagai bentuk eksistensi untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
Indonesia memiliki beragam kelompok etnik berdasarkan ras, suku, keturunan, agama, dan bahasa. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, bahwasannya terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Maka dari itu, dalam hal kedaulatan, Indonesia menggunakan sistem demokrasi untuk memilih seorang pemimpin.
Hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang  pasal 43 ayat (1) nomor 39 tahun 1999  tentang pengaturan hak politik warga Negara, dimana masyarakatnya diberi hak suara untuk memilih pemimpinnya sendiri. Begitu pun dengan hak untuk dipilih. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai pemipin. Baik dalam eksekutif maupun legistalif pemerintahan.
Menilik soal politik identitas, dalam pasal 51 Undang-undang nomor 8 tahun 2012 misalnya, yang membahas tentang persyaratan bakal calon anggota legislatif, di dalamnya tidak sedikit pun membahas soal perbedaan etnis, budaya, dan adat. Namun pada praktiknya, tak jarang terjadi hal-hal yang bersebrangan dengan undnag-undang. Faktanya masih marak terjadi diskriminasi antar etnis disetiap pemilu bahkan mungkin setelahnya, karena politik identitas terlalu diperankan sedemikian kuat.
Seperti kasus diskriminasi lintas etnis yang tejadi pada pilkada 2017 di DKI Jakarta. Dilansir dari tempo.co. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebutkan, praktek politik kebencian marak digelar dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada DKI Jakarta 2017. Menurut Hamid, politik kebencian yang dipakai aktor negara dan non negara untuk memecah belah masyarakat itu berdampak panjang.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Calon Gubernur Jakarta 2017) menjadi salah satu korbannya. Citra diri Ahok yang merepresentasikan etnis Tionghoa dan non pribumi berembus pada masa kampanye. Hal itu mempengaruhi persepsi publik dengan menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu etnisitas.
Kasus itu menjadi perdebatan panjang di media sosial. Bahkan seusai Pilkada DKI Jakarta, kebencian terhadap etnis Tionghoa tidak menyurut. Dari perbicangan yang dilakukan di beberapa daerah, mayoritas menyimpulkan betapa ketionghoaan dan label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi. Mereka yang Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.

Sebagai contoh, kasus lanjutan yang dikutip dari tirto.id, di sebuah halte TransJakarta Senayan JCC, Jumat malam, 26 Agustus 2016 seorang pria keturunan Tionghoa, Andrew Budikusuma, mengaku dipukuli oleh sejumlah pria. Tidak hanya dipukuli, Andrew diteriaki dan dihina dengan kata-kata merendahkan yang menunjukkan sebuah gejala kebencian rasialis. Ia juga dituduh sebagai Ahok. Akar kebencian rasialis terhadap kelompok minoritas Tionghoa di Indonesia rupanya masih ada.
Padahal etnis merupakan salah satu bagian dari banyaknya ragam yang ada di Indonesia. Yang berarti, etnis tetaplah warga negara Indonesia yang sah, meski dari keturunan tionghoa sekalipun.
Etnis ada dengan sendirinya, dan disatukan oleh kesamaan ras, adat istiadat, bahasa, ataupun kepercayaan yang dilahirkan dari keturunan nenek moyang yang sama. Sehingga terciptanya sebuah sistem budaya yang mengikat kelompok manusia itu sendiri didalamnya.
Dari sana sudah terlihat bahwa mendiskriminasi seseorang karena identitas atau suatu ras tanpa tau sebab musababnya suatu hal yang tidak layak kita lakukan. Apalagi mengingat kenyataannya Indonesia diperjuangkan bukan hanya oleh satu suku saja, tapi dari banyaknya gabungan kesatuan antar budaya. Seperti, Letnan Kolonel Ong Tjong Bing, warga etnis Tionghoa yang berkontribusi pada bidang kesehatan pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kemudian Ali Sudjianto atau Lie Yun Fong wartawan koran Sin Po yang ikut bergabung dalam pejuang 45 Jawa Tengah.
Seharusnya hal tersebut mampu menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia memiliki banyak ragam etnis. Mendengar diskriminasi etnis masih berlangsung, hal tersebut menjadi sorotan penting bagi pemerintah, karna ditakutkannya berefek pada pemilu selanjutnya dan menjadi salah satu tindakan makar yang berbasis SARA.
Dilansir dari VoaIndonesia.com, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, memprediksi akan meningkatnya diskriminasi berdasarkan ras dan etnis menjelang Pemilihan Umum 2019. Peningkatan itu terjadi karena politik identitas terus menguat di masa kampanye. Menurutnya isu simbolisme dan personifikasi orang lebih kental dibanding yang sifatnya substantif atau programatis. Hal itulah yang menurut Wahyudi, akhirnya memunculkan model-model kampanye yang menjurus kepada penggunaan isu-isu keagamaan, suku, dan etnis.
Belum lagi soal survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada April-Juli lalu terhadap 145 ahli politik, ekonomi dan sosial budaya mengungkapkan bahwa politik identitas masih kuat. Sebesar 40 persen dari responden menyatakan politik identitas dan SARA (suku, agama dan antargolongan) berpotensi menghambat pemilu 2019. Kemudian 21 persen menyatakan sikap intoleransi menjadi faktor penghambat lainnya.
Prediksi-prediksi tersebut rupanya terbukti. Berbagai hambatan terjadi lagi-lagi karena identitas yang dipolitisasi. Apalagi jika dimainkan dalam isu-isu hoax yang memecah belah. Seperti yang dikabarkan Voaindonesia.com, bahwa telah ditangkap salah seorang warga oleh Mabes Polri pada 23 Mei dikarnakan menyebarkan berita palsu terkait pelibatan polisi China dalam pengamanan unjuk rasa 21-22 Mei di Jakarta. Humas Mabes Polri Dedi Prasetyo mengatakan, konten yang disebar tersangka mengandung pesan yang dapat menghasut permusuhan berdasarkan ras dan etnis. Akhirnya trsangka dijerat pasal hoaks dan pasal kebencian.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa di Indonesia masih minim akan pemahaman soal SARA hingga diskriminasi antar golongan masih terjadi hingga kini.
Padahal hal tersebut telah tercantum dalam "Standar Norma dan Setting Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis" yang dikeluarkan Komnas HAM tahun lalu. Bahwa seseorang atau kelompok yang mendapatkan atau melakukan diskriminasi berpengaruh pada tiap individu. Konflik ini tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Saat ini, orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran kebencian. Ungkapan kebencian sedemikian dahsyat menyebar menjadi gelombang yang mengepung kehidupan mereka, dan memang bukan hal yang mudah menyatukan masyarakat dalam satu ikatan. Apalagi untuk negara yang memiliki banyak perbedaan, dan beberapa kisah sejarah menjadi faktor kesenggangan. Isu etnisitas memang sudah menjadi jurus ampuh untuk membakar emosi masyarakat, hingga terkadang akibatnya terasa hingga pemilu usai sekalipun.
Masyarakat memang harus lebih berhati hati dalam menangkap kabar yang ada, karna ditakutkan mengandung hal hal yang memprovokasi, bukannya persatuan malah perpecahan yang didapat, bukannya kedamaian malah kerusuhan yang ada. Kita sebagai masyarakat harusnya memperkuat pondasi toleransi, kita harus terus menyadarkan diri sendiri bahwa negri kita tidak ada dengan sendirinya. Meski penyaringan sepertinya tetap harus ada, seperti kepemilikan kekuasaan lahan harus dibatasi, Hak pembangunan lahan kerja, karna tetap saja ditakutkan dari kekayaan merambat jadi kekuasaan.
Dan yang paling utama, soal mengatur pola pikir kita, jangan sampai dikuasai oleh nafsu dan hasut. Gunakanlah panca indra dengan seharusnya, jangan sampai terjadi salah tuduh, dan menjustifikasi seseorang karna pakaian atau tingkahnya apalagi berdasarkan 'katanya'.
Sebenaranya pemerintah sendiri, harusnya mampu memberi ketegasan terhadap hukum yang berlaku agar tidak terjadi lagi kasus kasus  yang menimbulkan perpecahan atau diskriminasi pada lintas etnis. Penjagaan yang ketat tidak harus dilakukan lewat kekerasan tapi lebih baik diberi secara edukasi. Pemahaman akan sejarah, toleransi yang kuat, dan saling menjaga serta memperjuangkan antar suku bagi siapapun yang mau memperjuangkan negara Indonesia.
Sejarawan Inggris Eric J. Hobsbawm-pun mengatakan 'Identitas adalah perihal yang gampang diutak-utik, terlebih lagi identitas nasional'. Menurutnya, jika sebuah bangsa itu hadir karena ditemukan, maka nasionalisme sebagai sebuah ideologi yang menaungi kesadaran identitas nasional adalah sebuah invented tradition, sebuah tradisi yang harus terus digali dan dipertahankan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun