Mohon tunggu...
Dwi Isnaini
Dwi Isnaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mompreneur yang menyukai dunia tulis menulis

Owner CV Rizki Barokah perusahaan dalam bidang makanan ringan. Penulis buku "Karakter Ayah Pebisnis untuk Sang Anak Gadis"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendidik Anak Tanpa Teriakan dan Bentakan

8 Maret 2022   07:21 Diperbarui: 8 Maret 2022   07:24 1704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendidik anak dengan teriakan dan bentakan sepertinya sudah lazim di telinga para orangtua. Baik saat kita menjadi anak, yang dulu pernah dilakukan oleh orangtua kita, maupun saat kita sudah menjadi orangtua.

Bahkan ada sebagian orangtua yang mengatakan bahwa anak itu memang perlu dikerasi, kalau tidak nanti bisa 'ngelunjak' sama orangtuanya. Ironis memang. Disatu sisi, dulu sewaktu kita masih kecil kita tidak suka jika orangtua berteriak atau membentak kita. Namun, disisi lain setelah kita menjadi orangtua, ternyata hal itu kita ulangi lagi pada anak kita.

Sebenarnya, hal ini bukanlah kesalahan kita secara pribadi, tetapi hal ini merupakan sebuah pola kesalahan yang terjadi dari generasi sebelumnya yang terus diwarisi dari generasi ke generasi. Menurut Ayah Edi seorang pakar parenting, hal itu bisa disebut juga dengan "Rantai Kekerasan dalam Keluarga".

Satu-satunya jalan untuk menghilangkan rantai kekerasan dalam keluarga adalah dengan cara kita putus rantainya cukup sampai kita saja, tidak perlu kita wariskan kembali kepada anak kita.

Selama ini banyak orang salah mengartikan bahwa kekerasan itu identik dengan disiplin. Padahal tidak demikian. Disiplin itu identik dengan ketegasan, sedangkan tegas itu beda dengan keras.

Ketegasan adalah suatu sikap kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Ketegasan bukanlah sikap yang penuh dengan kekerasan. Disiplin itu menguatkan mental, sedangkan kekerasan menyakiti fisik dan mental. Jadi, sebenarnya ketegasan itu memerlukan contoh teladan dari orangtua, bukan kekerasan orangtua kepada anak.

Lalu, mengapa ketegasan itu sering berujung pada kekerasan? Karena kita sering lupa memberikan teladan pada anak. Kita menuntut anak melakukan sesuatu tanpa memberi contoh bagaimana cara melakukannya. Selain itu, kita juga sering lupa menepati janji atau tidak menepati apa yang sudah kita ucapkan kepada anak (dengan berjuta alasan pembenaran).

Anak-anak kita, pada awalnya mempunyai pribadi yang jujur dan polos. Mereka adalah pengamat yang jeli dan peniru yang ulung dari apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Hanya saja kebanyakan orangtua tidak menyadarinya. Ketika ucapan kita sering berbeda dengan tindakan, maka anak pun menirunya, lalu kita mulai terpancing marah pada anak. Padahal kalau kita renungi, perilaku anak kita itu sebagian besar meniru perilaku kedua orangtuanya.

Berhubung pola utama pembentukan perilaku anak adalah meniru, maka yang harus menjadi fokus perubahan perilaku anak adalah perilaku kita sendiri sebagai orang yang ditiru. Tidak salah jika ada kutipan yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya mendidik adalah dengan memberikan teladan. Dan sesungguhnya orangtua, terutama ibu adalah "madrasah" atau sekolah pertama bagi anak, dan ayah adalah kepala sekolahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun