Sore ini jam 4.15 kami melepas di stasiun Madiun mbak Ida dan Ichlas, putranya, sahabat-sahabat kami dari Jambi yang kini tinggal, bekerja di Australia. Ingin sekali mereka tinggal lebih lama di Ngawi . . . kami bergegas ke pagar terujung stasiun. Peluit lokomotif melengking nyaring, kereta merangkak, mbak Ida dan Ichlas melambai, tersamar sinar di ujung senja, menuju Jogja.
. . . . . . . . .
Sopir kami, pak Domi, datang tepat waktu, jam 10 pagi. "Bade ten pundi mawon, Pak?"
"Ten Sarangan, Pak. Tujuan utamanya itu dulu. Yang lain-lain dipikir sambil jalan."
"Itu jalan apa, Mas, di tulisan itu?" tanya mbak Ida.
"Pun ... too ... dee .. woo. Jalan Puntodewo, Mbak."
Mobil carteran bergerak pelan meninggalkan Puntodewo, jalan masuk pinggiran desa kami di Ngawi. Hamparan padi dan tebu berkejaran, awan tipis santai saja di atas bersama birunya langit.
"Pak Domi, rencana hari ini, kita ke Masjid Sewulan dekat pabrik gula Pagotan. Kemudian ke Masjid Tegalsari di Ponorogo. Terakhir ke Sarangan. Kita lewat ringroad saja, ke SMA 3. Terus masuk Winongo, keluar depan INKA. Dari situ masuk kota, agar mbak Ida dan Ichlas tahu pusat kota Madiun, tahu Matahari, Sri Ratu, Samudra . . . Kita lihat nanti situasinya. Kalau waktu kurang, bisa kita sesuaikan. Saget nggih, Pak?"
"Nggih, saget Pak."
"Eih, itu apa, Ran? Tebu ya? Sama padi? Berarti ada banyak pabrik gula ya di sini?" mbak Ida kaget melihat luasnya sawah padi dan tebu. Mungkin di jambi sawahnya tidak seluas di Madiun?
"Iya, Mbak Ida."