Dugh! (suara sesuatu terbentur lantai masjid)Â "Mamaaaa...kepalaku sakit"Â teriakan dan tangisan balita memecah kesunyian jamaah tarawih di hari pertama. Konsentrasi saya terpecah, untung sudah menjelang salam di tahiyat akhir. Usai sholat sang ibu tampak berupaya meredakan tangis anaknya.
Tampaknya tak ada yang patut dikhawatirkan sebab si anak kembali berlarian. Tak terasa bibir menyungging senyuman. Tahun lalu tidak ada kejadian seperti itu. Masjid sepi, bahkan sholat Jumat sempat ditiadakan selama dua pekan karena pembatasan akibat pandemi. Saat ini pandemi masih menghantui, tetapi pemerintah memberikan izin pelaksanaan sholat tarawih berjamaah di masjid-masjid, surau dan mushola di seluruh negeri dengan rambu-rambu yang harus ditaati.
Belajar dari Ramadan tahun lalu, masjid yang kembali ramai patut disyukuri. Saya masih ingat, hari-hari awal pandemi, masjid mati suri. Sholat jamaah rawatib hanya dihadiri segelintir orang, saya bahkan sering sendirian di shaf perempuan. Sebelum pandemi, Â jamaah sholat wajib lima waktu di masjid perumahan kami cukup makmur. Namun sejak pandemi jamaah berkurang secara berangsur-angsur. Pandemi memberikan waktu bagi kita untuk tafakur. Adakah nikmat sehat dan waktu luang telah menumbuhkan rasa syukur? Atau jangan-jangan kita abai dan terjebak dalam kufur.
Betapa mungkin kita sering  berkeluh kesah. Lelah bekerja gaji tak seberapa. Lupa bahwa yang kita kejar di dunia adalah berkah, bukanlah jumlah. Kemudian pandemi datang dan menimbulkan gelombang PHK. Bisa jadi sebelumnya kita menganggap waktu senggang adalah hal yang sangat berharga, sehingga saat bertemu waktu luang digunakan untuk tidur dan bermalas-malasan sepuasnya. Lalu datanglah waktu senggang karena pandemi corona. WFH, SFH hingga gulung tikarnya dunia usaha dan sebagian tak lagi bekerja. Adakala kita bersitegang atau berburuk sangka pada seseorang. Belum sempat meminta maaf, tiba-tiba ia tak bisa lagi ditemui karena telah meninggal dunia, virus corona merenggut nyawanya tiba-tiba meski sebelumnya terlihat sehat-sehat saja. Hal-hal yang tak pernah diduga sebelumnya, memberi kita kesempatan untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, dan lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Ramadan tahun lalu hidup nyaris seperti beku, namun kita bisa belajar tentang sesuatu. Tentang bagaimana berharganya waktu. Maka kini saatnya berjuang menata kembali, menghidupkan kembali Ramadhan yang nyaris mati. Dan tak lelah berharap, berdoa Allah segera mengakhiri pandemi ini.
Belajar dari Ramadan tahun lalu, ada beberapa persiapan menyambut bulan kemuliaan yang perlu saya perbaiki, baik dari segi kuantitas maupun mutu, yaitu:
- Hati dan iman
Bagaimana isi hatimu Ramadan tahun lalu? Saya merasa paling merugi, sebab hati dipenuhi syak wasangka "Bagaimana sih si A itu, biasa jamaah di masjid sekarang ogah, katanya takut corona, tapi tetap keluyuran kemana-mana" Lain hari diganggu pikiran ketika berdekatan dengan seseorang "Harus hati-hati sama kamu, 'kan suamimu bekerja di rumah sakit, virus-virus mengintai setiap waktu"
Ya Allah ....padahal berpuasa seharusnya mampu menahan, tak hanya minum dan makan, tetapi juga menata hati, perasaan dan pikiran. Maka Ramadan kali ini diniatkan memperbaiki kualitas iman. Tak perlu khawatir berlebihan, namun tetap waspada dan taat protokol kesehatan. Tawakal sesudah ikhtiar, adalah hal yang perlu dilakukan.
- Ilmu
Sebelum pandemi, menyambut Ramadan biasanya kita rajin mempelajari kembali ilmu fiqih. Karena pandemi, ilmu yang perlu dipelajari bertambah lagi, yaitu ilmu kesehatan dan tips meningkatkan stamina tubuh serta langkah-langkah meminimalisir terpapar Covid-19. Jika berbuka puasa dahulu lebih suka yang manis-manis seperti es teh dan sirup. Belajar dari tahun lalu, kini lebih nyaman berbuka dengan segelas air putih  serta memperbanyak konsumsi buah dan sayur atau setup.