Mohon tunggu...
Deni Danial Kesa
Deni Danial Kesa Mohon Tunggu... profesional -

Lebih mulia menjadi penonton yang kritis dan melakukan perubahan, daripada menjadi pemain yang lalim dan keras hati. Buka semua panca Indera kita, cerahkan nalar dengan hal positif dan kepakkan sayap kebajikan diantara warna-warni dunia.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Punakawan Methods

24 November 2010   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12906227681915444892

Kita sebagai manusia awam selalu menekuni kegiatan membaca dan melihat  sebagai "brainstorming" pemikiran akan kesulitan menginterpretasikan bila sesuatu yang dihadapinya menundukkannya dalam posisi pasif, sebagai penerima arti —bukan pencipta arti. Boleh jadi berbagai hasil karya entah terkait dengan teknologi, politik , sosial, budaya , atau kerangka mikro aktifitas puisi, teater, wayang, jazz dan blues. Tidak cuma kata atau kalimat yang menentukan kita untuk melihat dan menganalogikan dalam format keseharian. Ada bentuk, keunikan, tangga nada, bunyi, bahkan kebisuan, dan elemen paling vital adalah bentuk ketidaksadaran manusia dalam langkah jejaknya yang membutuhkan satu proses dorongan naluriah, yang ikut berperan dalam pemberian makna (semiotik). Kita menghidupkan proses tersebut dalam diri  sehingga melahirkan kata, suara, gerak, dan goresan tangan dalam semacam ritme yang terumuskan dan tersusun rapi sebagai buah penjelmaan keinginan manusia dan proses kelahirannya terpengaruh oleh Anggapan, kebiasaan dan kepercayaan. Immanuel Kant memiliki satu istilah yang artinya mendekati makna tersebut: “stimmung”, in a good mood and in the good spirit , mengerti dan memahami dengan melakukan kombinasi rasa. Lantas di berbagai literatur dan bahkan dunia nyata banyak proses stimmung ini bisa berperan lebih. Akan tetapi terkadang proses Stimmungisasi ini kalah dengan berbagai kepentingan, yang tadinya dibangun dengan nuansa baik dan semangat yang baik akhirnya terjerumus dalam banyak kesalahan, dan kenistaan. Peristiwa yang terjadi di negara kita misal, adalah milik kesementaraan, datang silih berganti dari satu kasus dengan kasus yang lain, terkadang dengan kemajuan teknologi media semua akan semakin berebutan mengambil peranan. Yang langgeng dan terus berkelanjutan adalah ingatan, kenangan, dan kemudian tanggapan, interpretasi terhadap subjek besar. Namun, ingatan manusia bukan saja pendek. Ia sekaligus bersifat rapuh. Maka diperlukan cerita atau skenario dan itu hanya mungkin jika ada pencerita yang menciptakannya kembali dan mengisahkannya. Muncullah berbagai berita dengan berbagai rasa (termasuk tulisan ini, saya kira). Saya teringat kepada analogi budaya Sunda dalam wayang golek, yang menggambarkan bahwa arti sebenarnya itu lebih berarti daripada sekedar kiasan, banyak philosophy yang tercipta diantaranya lewat proses penokohan punakawan ada semar badranaya, cepot, dawala, gareng, yang mendukung koneksitas priyayi dengan masyarakat lewat penampilan yang mengundang tawa, sedih bahkan amarah. Lahirnya cerita punakawan sebenarnya tanpa peristiwa, gonjang ganjingnya dunia tidak akan lahir. Namun, ketika ia menjelma dalam beberapa segmen wayang, maka tidak punya lagi pamrih untuk diperlakukan sebagai rekonstruksi peristiwa nyata tertentu, Ia ikhlas “dipakai” untuk membingkai berbagai peristiwa yang melingkupi gelak tawa, tangisan dan amarah para penontonnya. Persis seperti anggapan sebagian kita terhadap pementasan wayang golek tersebut. Cerita yang diwartakan dalang bukan sekadar “cerita” tetapi bingkai yang mengarahkan penonton dalam memaknai ranah yang lebih besar. Bagi sebagian dari kita wayang golek  bukanlah sebatas pertunjukkan yang dipentaskan oleh dalang. Selanjutnya kita tidak menyangkal bahwa perasaan, pemikiran, dan pengetahuan memengaruhi kisah itu sejauh ada tanda-tanda (ikon, indeks, simbol) dalam wayang yang dapat ditampung. Salah satu tanda penting di dalamnya adalah ke-berada-an apa menyebabkan apa (kausalitas). Cukup banyak penonton yang termasuk dalam kelompok “punakawan Idol” yang melihat sisi keunikan para punakawan ini sebagai sebuah bentuk perlawanan. Asal-usulnya adalah dewa, tetapi tempatnya bukanlah di surga melainkan di dunia. Mereka menjadi hamba yang setia bagi manusia (direpresentasikan oleh priyayi..pandawa lima). Tak ada sedikitpun keindahan manusiawi pada para punakawan tersebut . mereka bukanlah dewa dewa keindahan. Mereka manusia minus yang ada dan hadir sepanjang sejarah. Mereka mengatasi waktu dan sekaligus menjelma di dalam waktu. Wayang  Golek yang dibingkai melalui penokohan para punakawan dalam tulisan ini sekiranya dibaca dalam kategori pemahaman lain sebagai dampak konotatif kategori orang yang melakukan kebaikan tetapi tidak pernah dianggap, tetapi banyak menunjang keberlangsungan sebuah system. Melalui Para punakawan , estetika tidak lagi digali lewat keindahan. Estetika tak dapat melepaskan diri dari “kritik dan mengkritik”. Jika Hidup dalam bingkai Negara ini  hendak merangkum totalitas, Negara tidak boleh menyeimbangkan apa yang dikritisi dengan pembungkaman , karena dua hal ini  selalu relasional dengan apa yang menjadi objek yang dibangun. Dan ketika pembungkaman harkatnya lebih tinggi daripada kritik maka  kesempurnaan keindahan menuju tujuan Bernegara akan pupus. Karena setiap kebaikan, keburukan, pejabat dan Rakyat tidak hanya kan bergantung pada dirinya sendiri tapi secara rasional melainkan secara dialektis bahu membahu menuju kesempurnaan, keindahan ideal sebuah negara. Punakawan sebagai tokoh tokoh dalam dunia pewayangan mampu menangani idealisasi itu, sebab mereka mempunyai kebebasan untuk menarik diri sejauh mungkin dari realitas empiris yang mengikat kejelekan itu sebagai kontrol sosial (mengkritisi dengan nyanyian, tarian, gurauan dari yang malu-malu sampai yang vulgar sekalipun). Punakawan dalam dirinya menemukan kejelekan, lalu menyucikan kejelekan itu dari unsur ketidakmenentuan, ketidakbentukan, kefanaan, dan mengubahnya dalam bentuk keindahan baru. Ketidakmampuan secara fisik yang ada pada diri mereka dijadikan modal untuk memunculkan kearifan dalam memandang peristiwa, menegur para ksatria yang indah namun manja dan curang dan seterusnya. Bagi kita cerita punakawan merupakan contoh yang menarik tentang bagaimana kita memerhatikan sesuatu yang orang lain tidak memerhatikannya. Dalam kerangka keseimbangan mereka menolak keindahan yang cuma “renda dan hiasan”, keindahan yang cuma memancarkan gebyar luar, keelokan fisik dan artifisial yang tidak sampai pada hikmah hakiki. Karena mereka sadar semua akhirnya  hanya takluk pada sang dalang, Gusti Allah SWT. Chungli City

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun