Mohon tunggu...
Gunawan Susilo
Gunawan Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar

Pekerja biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nyi Ageng Serang

17 Oktober 2017   11:21 Diperbarui: 17 Oktober 2017   11:40 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau kita pergi ke Jogjakarta lewat jalur Purworejo-Jogja yang melewati kabupaten Kulon Progo, saat memasuki kota Wates, maka akan menjumpai sebuah patung seorang wanita yang menunggang kuda sambil membawa tombak, dengan kaki kanan kuda yang terangkat, mengingatkan pada kuda jingkrak yang dinaiki pangeran Diponegoro, monumen tersebut letaknya di tengah-tengah simpang lima kota Wates, sosok wanita itu adalah Nyi Ageng Serang. Namanya memang agak kurang familiar dibandingkan dengan R.A Kartini dan Cut Nyak Dhien, meskipun berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974, beliau di anugrahi Pahlawan Nasional Indonesia.

Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, lahir di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah 1752. Serang merupakan wilayah terpencil dari kerajaan Mataram, yang sekarang menjadi wilayah perbatasan Grobogan - Sragen. Ayahnya bernama pangeran Natapraja yang merupakan bupati Serang kerajaan Mataram, yang juga di kenal sebagai Panembahan Serang, pangeran Natapraja di angkat menjadi Panglima Perang oleh pangeran Mangku Bumi Mataram ketika menghadapi serangan Belanda.

Jiwa kemiliteran nya diwarisi oleh sang ayah yaitu pangeran Natapraja yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Sebagai wanita yang hidup di masa itu kebanyakan memilih atau bahkan di anjurkan untuk di dapur, tetapi tidak bagi Nyi Ageng Serang, beliau memilih membantu ayahnya untuk mengusir belanda yang ingin menguasai tanah Jawa. Perlawanan pangeran Mangkubumi berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, kemudian pangeran Mangkubumi naik tahta menjadi sultan Yogya yang bergelar Hamengkubuwono 1 yang terletak di Yogyakarta.

Meskipun ada yang mengganjal terhadap perjanjian itu, Panembahan Serang tetap menjaga pasukannya untuk tetap utuh. Mengetahui hal tersebut, pihak Belanda melakukan penyerangan besar-besaran. Nyi Ageng Serang yang saat itu sudah tumbuh dewasa ikut membantu perang langsung turun ke medan pertempuran yang berakhir dengan kemenangan Belanda, Nyi Ageng Serang pun tertangkap di bawa ke Yogyakarta, kemudian di kembalikan ke asal nya Serang, disitu beliau hidup menjadi tokoh masyarakat.

Meskipun hidup tenang sebagai pemimpin masyarakat, hasrat untuk mengusir penjajah tidaklah sirna, apalagi dengan melihat peraturan Belanda yang semakin menyengsarakan rakyat, yang akhirnya terjadilah perang Diponegoro 1825-1830. Saat terjadi perang Diponegoro usianya sudah tidak muda lagi, tapi semangat juang untuk melawan penjajah tidaklah redup, dengan pasukan Nataprajan ia bergerak di daerah Serang, Purwodadi, Gundih, Semarang, Demak, Kudus, Juwana, dan Rembang.

Usia rupanya tak menghalangi Nyi Ageng dalam bertarung di peperangan. Bahkan ketika perang gerilya di sekitar desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, ia memimpin langsung pasukannya. Salah satu strategi perangnya adalah penggunaan daun lumbu (keladi) untuk di pakai pasukannya sebagai penutup kepala, dengan begitu pihak musuh akan melihat dari kejauhan sebagai tumbuhan lumbu, saat musuh mendekat maka akan di sikat habis.

Meskipun sudah memasuki usia 73 tahun semangat juangnya tidak pernah pudar, beliau di angkat oleh Pangeran Diponegoro sebagai panglima perang dan memimpin langsung di medan pertempuran, karena yang di benaknya hanya terpikirkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Saat menjadi pemimpin perang beliau dibantu oleh cucunya yaitu R.M Papak.

Yang kelak mempunyai putra bernama R.M Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal ki Hajar Dewantara. Beberapa tahun kemudian Nyi Ageng Serang wafat di usia yang ke 76 tahun, dan dimakamkan di desa Beku, kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Beliau gugur membela tanah air Indonesia, menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, dimana sekarang setiap tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan, tetapi untuk menyebut monumen Nyi Ageng Serang atau monumen Pangeran Diponegoro, dengan sebutan patung kuda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun