Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Jabotabek”

17 Januari 2014   23:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada yang berubah dalam politik. Ia tetap sebagai tempat di mana setiap orang berpeluang sama. Menjadi bajingan atau pahlawan. Menjadi iblis atau malaikat. Menjadi tragedian atau komedian. Menjadi si rakus atau si dermawan. Menjadi si penindas atau pembebas. Menjadi Bimo atau Durno. Menjadi si penyayang atau penganiaya. Menjadi ancaman atau harapan. Dan politik nyatanya, tidak bisa menciptakan pahlawan bagi semua orang, juga tidak bisa menjadikan seseorang sebagai bajingan bagi semua orang. Pahlawan bagi satu kubu adalah bajingan bagi kubu lain. Iblis bagi satu kubu, bisa menjadi malaikat bagi kubu lain. Politik tetaplah sebagai seni, seni untuk tidak bersepakat. Seni mengaburkan nilai-nilai. Seni bersilang pendapat. Seni mengelola konflik. Seni kejujuran sekaligus dusta. Seni mencari kebenaran yang hanya ada dalam pencarian.

Sekarang aku melihat 12 partai politik peserta pemilu 2014 ibarat 12 anak sepermainan. Yang sedang berlomba menarik perhatian semua orang. Mereka berkumpul dan bermain di tempat yang sama, bernama Indonesia. Semuanya saling memerhatikan. Semuanya tahu belaka, siapa di antara mereka yang paling diperhatikan. Rasa, bukan pengetahuan, pastilah sudah tahu siapa sesungguhnya pemimpin di antara mereka. Siapakah yang paling menonjol. Siapakah yang paling minder nggak ketulungan. Siapakah yang paling percaya diri. Siapakah yang paling cerdik dan mengandalkan akalnya. Siapakah yang paling galak. Siapakah yang paling sok bermoral. Siapakah yang paling kaya. Siapakah yang paling-paling… setiap anak tahu belaka. Tahu belaka… yang paling-paling itu tidak akan terpilih menjadi sang pemuka.

Benar! Si PDIP adalah yang paling diperhatikan sekarang. Gerak-geriknya paling dicermati. Kata-katanya yang paling ditunggu-tunggu. Idenya bisa segera berubah dan diterima sebagai perintah. Pakaian yang dikenakannya bisa demikian cepat menjadi mode paling trendi. Lagunya begitu cepat merebak menjadi lagu paling ngetop. Tak ada waktu untuk bertanya-tanya kenapa gayanya begitu disukai sekarang-sekarang ini.

Benar juga! Karena Jokowi. Jokowi yang ceritanya sudah menjadi buah bibir setiap orang. Jokowi yang tidak keren, tidak pinter, bukan anak penggede negeri, tapi begitu cepat meniti tangga kuasa negeri. Menjadi magnet paling kuat menarik perhatian semua orang. Jokowi yang Gubernur Jakarta sekarang, yang tidak dimaki orang meski macet dan banjir Jakarta semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba saja semua orang bersepakat segala macet dan banjir itu karena gubernur-gubernur Jakarta yang sudah-sudah salah mengurusi ibukota, bukan karena Jokowi. Jokowi adalah gubernur korban dari gubernur-gubernur sebelumnya. Lihat saja dia tetap Jokowi yang suka blusukan! ( Pikiran seperti ini pastilah tidak akan ada jika Foke yang jadi gubernur Jakarta sekarang).

Karena musim sudah berganti sekarang. Minggir segala orang yang sok pinter, sok keren, sok kaya, sok jago, dan segala sok-sokan yang ada. Apalagi yang mengandalkan nama bapaknya. Percuma kalian hamburkan uang untuk segala iklan politik yang bikin mual itu. Jalan menuju kursi kepresidenan Indonesia untuk 5 tahun ke depan masih tetaplah milik orang Jawa. Tapi bukan seorang Jawa yang keren, pinter, kaya, apalagi yang mengandalkan nama bapaknya. Ini adalah musim yang membuka kesempatan bagi seorang Jawa yang bodoh tapi beken. Itulah dia Jokowi: Jawa Bodo tapi Beken = JABOTABEK. Bukankah di zaman ini, yang paling penting adalah beken?

Dengan beken orang bisa jadi kaya. Si Kaya belum tentu beken. Apalagi si pinter. Indonesia sekarang bukan lahan subur bagi orang-orang pinter. Tidak ada orang pinter yang jadi beken karena kepintarannya sekarang. Tukul adalah contoh yang paling terang. Bagaimana kebodohan dan kekonyolannya menjadi daya jualnya yang paling ampuh. Dia menjadi kaya dan diperhatikan (beken). Begitupun bagi Raja JABOTABEK, dia akan segera duduk di kursi kepresidenan 2014. Semuanya tidak penting. Segala kepintaran, kekerenan, kekayaan, dan nama bapak para pemuka negeri ini sudah terbukti tidak menjadikan negeri ini lebih berdaulat. Kedaulatan pangan tinggal cerita, kedaulatan energi sebagai angan, hutang semakin bertumpuk, korupsi semakin merajalela. Itu semua adalah buah kepintaran dan kegantengan. Karena si pintar dan ganteng begitu mudah berpura-pura. Sementara si bodoh dan jelek tidak sanggup melakukannya. Karena dia tetap akan tampak bodoh dan jelek.

Ayolah kita hidupkan harapan. Bahwa Si JABOTABEK itu bisa menjadikan Indonesia lebih baik. Benar-benar berdaulat secara ekonomi dan politik. Sanggup menghentikan impor beras, kedelai, dan garam. Sanggup bikin mobil sendiri. Sanggup menghentikan embargo senjata. Sanggup menegosiasikan utang luar negeri Indonesia. Jika mungkin mengurangi dan menghilangkannya sama sekali. Sanggup menjadikan Indonesia juara lagi di Sea Games. Si ganteng dan di pintar dan si anak yang mengandalkan nama bapaknya sudah terbukti tidak bisa melakukannya. Sekaranglah saatnya bagi si Jawa Bodo tapi Beken: Ayo JABOTABEK. Kulo oge Wong Jowo: Sing penting tetep beken.*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun