Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nikmat atau Istidroj?

9 Januari 2021   06:15 Diperbarui: 9 Januari 2021   07:03 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Nikmat atau Istidroj

Jika Allah Swt menakdirkan kita menjadi orang yang meraih kesuksesan dunia, darimana kita tahu, itu nikmat atau istidroj? Mari kita renungkan, kesuksesan yang sudah kita dapatkan merupakan nikmat dari Allah atau istidroj? Istidroj adalah apabila kita diberi kenikmatan, maka semua hak-hak kita ditunaikan di dunia. Tapi nanti di akhirat kita sudah tidak mendapat bagian lagi. Bisa jadi dalam akhir hidup kita akan ditimpa azab yang pedih. Naudzubillah min dzalik. Apabila dunia yang kita peroleh ini adalah istidroj, mending kita tidak usah mengejarnya. Namun selama kita mendapatkan rezeki dari jalan yang lurus, kita harus yakin harta kita nanti akan menjadi wasilah masuk surga.

 Ada sebuah cerita dari sahabat Nabi Saw yang kekayaannya sangat mahsyur, yakni Abdurahman bin Auf. Suatu ketika ia mendengar Aisyah Ra menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan Abdurahman bin Auf masuk surga belakangan karena hisabnya banyak. Maka seketika itu pula, beliau langsung membawa 500 ekor kuda dan unta lengkap dengan isinya. Ketika masuk ke kota Madinah, masyarakat mendengar suara gemuruh yang sangat besar hingga orang-orang bertanya-tanya ada peristiwa apa? Lalu ada yang menjawab Abdurahman bin Auf datang. Kemudian Abdurahman bin Auf mendatangi Aisyah dan berkata, "Hai Aisyah saksikanlah aku infaqkan seluruh yang aku bawa hari ini ke jalan Allah." 

 Apa yang dilakukan Abdurahman bin Auf merupakan perkara yang sangat mendasar. Kenapa dikatakan mendasar? Karena kita semua tentu ingin kesuksesan itu memang betul-betul nikmat yang membawa kita kepada rida Allah Swt. Jangan sampai sukses ini menjadi istidroj atau penghalang hisab kita. Apabila kekayaan itu menjadi penghalang kita di akhirat, maka sebaiknya kita sedekahkan saja harta kita, agar meringankan hisab nanti.

 Ada sebuah cerita menarik tentang kisah Imam Syafi'i. Beliau seorang yang sangat luar biasa karena berguru pada imam-imam besar, bahkan juga kepada Imam Malik. Pada waktu itu Imam Malik mengarang kitab kumpulan hadis yang paling mahsyur. Imam Syafii awalnya memiliki pemikiran yang begitu skeptis pada orang kaya. Dalam pikiran beliau, orang salih itu harus zuhud dari dunia, maka ketika  mendengar rumah Imam Malik yang karpetnya begitu tebal, rumahnya besar, beliau sangat kaget. Tapi karena beliau ingin berguru, maka Imam Syafi'i tetap meluruskan niatnya. Namun ternyata Imam Malik memahami apa yang ada di dalam kepala Imam Syafii.

 Kemudian Imam Syafi'i belajar kitab Al-Muwaqo', dihafalkan dalam waktu yang amat singkat sehingga lulus dari ujian Imam Malik. Kemudian Imam Malik meminta Imam Syafii untuk berguru pada ulama yang lebih hebat lagi. Kata Imam Malik, "Kamu sebenarnya harus berguru ke Imam Abu Hanifah, tetapi karena Imam Abu Hanifah sudah tidak ada, maka kamu harus berguru ke murid Imam Abu Hanifah yang paling utama, yaitu Imam Ahmad bin Hasan."

 Imam Malik tinggal di Kufah, Mekah, sedangkan Imam Hasan atau Imam Abu Hanifah di Baghdad, Irak. Beliau lalu diantar langsung oleh Imam Malik dan diberi bekal sekitar 60-80 dinar. Imam Malik sebagai guru memberikan bekal kepada Imam Syafii yang kalau dikurskan, totalnya mencapai Rp. 100 juta lebih. Dari situ Imam Syafi'i berpikir, "Ulama seperti ini keren juga, kita yang mau pergi belajar  tapi kita malah disangoni"

 Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, sampailah beliau ke tempat Imam Abu Hasan. Kalau sebelumnya  Imam Syafi,i melihat rumah Imam Malik sudah terkejut. Setelah melihat rumah Imam Abu Hasan, beliau tambah kaget lagi. Kenapa? Rumahnya besar luar biasa, terus saat baru masuk di dalam rumah Imam Hasan sedang menghitung emas. Imam Abu Hasan tahu apa yang ada di dalam pikiran Imam Syafi'i, lalu berkata, "Bagaimana kalau seandainya emas ini dikasihkan kepada orang-orang yang fasik saja?" Imam Syafi menjawab, "Jangan Imam, nanti kalau diberikan kepada orang yang fasik justru akan menjadi kemudharatan. Nanti justru tidak menjadi maslahat, sebaiknya untuk amal saja." 

 Setelah peristiwa itu,  kemudian pendapat-pendapat Imam Syafii kepada dunia mulai berubah. Bahkan beliau mengatakan jika kafir zimmy yang mempunyai rumah dengan lantai satu, maka orang Islam harus memiliki rumah lebih daripada itu. Jadi izzah harga diri itu harus berada di tangan umat islam. Paling nggak di tangan orang baik agar kemaslahatan untuk seluruh umat, seluruh bangsa dan negara. Jangan sampai berada di tangan orang yang tidak benar.

 Dari kisah diatas, jika umat Islam tidak kaya, lalu umat lain kaya, maka umat Islam akan sulit berkontribusi Apalagi jika uang itu beredar lebih banyak di tangan orang- orang jahat, maka indikasi masyarakat akan rusak. Tetapi, bila uang itu beredar di tangan orang- orang salih, insya Allah, indikasi masyarakat kian sehat. Uang akan bermanfaat bila ditangan orang yang baik atau tepat karena kalau uang itu akan mengalir di saluran- saluran yang baik. 

 Kitab Mauisotul mukminin, karangan Imam Jamaludin, beliau mengatakan hal yang indah sekali, "Ketahuilah seseorang tidak dikatakan bersyukur kepada Tuhannya selagi dia belum mampu menjadikan nikmat yang telah ia terima  sebagai sarana untuk mahabah kepada Allah Swt". Jadi kita harus mengupayakan untuk hal-hal yang Allah cinta kepadanya, bukan kepada kesenangan pribadi. Jangan sampai ketika Allah memberikan kesuksesan maka kita gunakan untuk kesenangan diri sendiri, bukan untuk kemaslahatan umat. Seorang hamba menggunakan nikmatnya untuk hal-hal yang tidak dicintai Allah, maka sungguh dia sedang mengkufuri nikmat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun