Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Caleg Duafa, Berat untuk Lolos di Mazhab Uangisme

14 Agustus 2018   21:07 Diperbarui: 14 Agustus 2018   21:13 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CALEG DUAFA, IBARAT MEMASUKAN GAJAH KE DALAM JARUMDari sebuah penelitian rata- rata besaran cost politik untuk menjadi legislator di Jawa- Madura dan Bali adalah untuk DPRD Kab/Kota : Rp 0, 75 M < Rp 1,5 M, untuk DPRD Prov : Rp 1,5 M< Rp 2,5 M, dan untuk DPR RI : Rp 9 M < Rp 15 M. Cost tersebut diatas adalah rata- rata yang dikeluarkan oleh caleg terpilih pada Pemilu 2014.

Meskipun demikian ada juga Caleg yang biaya kampanyenya hanya puluhan juta, tapi berhasil mendapat kursi di DPRD. Hal ini tak lepas dari modal sosial yang sudah dimiliki, popularitas dan aspek keturunan yang berpengaruh di suatu daerah. Faktor keberuntungan juga memegang peranan tapi mungkin 0,001 % jumlahnya. Biaya terendah adalah yang dikeluarkan oleh para caleg yang sudah punya popularitas dan putra daerah yang sudah punya jaringan.

Demokrasi liberal yang money oriented ini sangat menyeramkan. Ukuran apresiasi publik seringkali bukan kerja nyata, melainkan seberapa banyak kemunculan di media. Itulah yang menjadi kegalauan para politisi saat menanggapi sejumlah aspirasi politik. Elektabilitas sangat bergantung pada besarnya jumlah uang yang ditebar. Ini problem besar, dihadapi oleh para caleg, terutama caleg yang modalnya pas-pasan alias caleg duafa.

"Para caleg 'duafa' alias bokek berat untuk sukses dalam kondisi politik liberal yang bermazhab 'uangisme' ini. Untuk meraih suara popularitas dan elektabilitas saja tidak cukup, buktinya banyak tokoh terkenal , artis bahkan ketua partai gagal lolos ke Senayan pada 2014 silam. Modal isi tas harus diakui masih menjadi rujukan, pengingat sebuah survey menyatakan 1 dari 3 pemilih di Indonesia rawan money politik.

Apalagi di Indonesia yang 70% pemilih tinggal di pedesaan, mereka memandang orang yang daftar caleg adalah horang kaya yang tajir melintir. Maka ketika caleg datang ke daerah, maka sering diminta sumbangan ini itu dan jika diundang maka mereka akan menanyakan amplop ada nggak? Ironisnya Meski dikasih amplop pun mereka belum tentu menyoblos. Buktinya banyak caleg yang gagal akhirnya meminta kembali sumbangan yang diberikan lantaran suara yang didulang di daerah yang dibantu sangat minim.

Nasib Caleg Duafa memang seperti gajah yang dimasukkan ke lubang jarum nyaris mustahil bisa bersaing dengan Caleg yang berduit. Selama caleg itu tidak dikenal, terkenal dan tidak punya jaringan maka nasibnya akan diujung tanduk jika tidak didukung oleh logistik yang memadai. Sepertinya caleg duafa akan terpinggirkan, meski diakui ada juga yang bisa lolos sebagai anggota Dewan.

Strategi pemenangan

Sekecil apapun peluang caleg duafa diuntungkan dengan adanya perkembangan dunia IT, yang sangat murah ongkosnya. Apalagi dunia medsos sangat mempengaruhi suara Pileg mengingat hampir 200 juta penduduk RI menggunakan internet da 35% atau 85 juta pemilih adalah generasi milineal. Caleg yang bujetnya nyungsep bisa memanfaatkan dengan membuat konten2 yang bermutu di medsos.

Caleg duafa bisa memanfaatkan jejaring sosial untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Caleg harus kreatif dengan membuat konten baik artikel, video dan foto yang membuat netisen mau memviralkan. Caleg harus terus berkreasi dengan terus konsistem tiodak hanya satu postimngan tapi bertubi tubi sampai nama dia membumi dan popular, kalau sudah popular maka peluang untuk merebut hati dengan menyelipan program kerja yang sudah diracik.

Selain media sosial , caleg harus turun ke lapangan dengan kerja sosial agar masyarakat juga bisa bertatap muka. Jadi misalnya media sosial sebagai serangan udara maka blusukan dan kerja nyata itu serangan darat, kalau hanya mengandalkan serangan udara via iklan, spanduk, kaos, hanya sampai di pikiran atau karena itu promosi, atau marketing yang belum tentu memilih. Tapi kalau kerja nyata, tatap muka itu selling atau menjual yang berpeluang besar untuk mencoblos.

Kalau caleg duafa peluang lolosnya ibarat gajah dimasukkan jarum, maka masih bisa lolos asal gajahnya diperkecil lebih keil dari lubang jarum, atau lubang jarumnya diperbesar lebih besar dari gajah. Hehehe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun