Fenomena Mudik Sebagai Cermin Pancasila
Mudik atau pulang kampung di hari raya Idul Fitri merupakan fenomena tahunan yang menarik. Bahkan di negeri Pancasila, mudik ini menjadi tradisi yang abadi dengan berbagai makna yang luar biasa. Tak hanya umat Islam, akan tetapi aktifitas mudik ini menjadi bagian dari seluruh masyarakat bumi Indonesia.
Kalau dianggap mudik sebagai suatu fenomena yang menarik dan luar biasa, tidak lah salah. Mudik menjadi salah satu pilar silaturahmi terbesar di bumi nusantara. Tradisi yang berulang setiap ini akan selalu menarik karena melibatkan banyak aspek.
Mudik dan Pancasila
Secara filosofi mudik merupakan tradisi yang erat kaitannya dengan nilai luhur bangsa. Termasuk dengan dasar Negara Pancasila jika dtelisik dari berbagai sila.
Sila Pertama, mudik merupakan fenomena religi, dimana orang ingin kembali ke tempat asalnya. Secara duniawi adalah kampong halaman atau tanah kelahiran, namun secara hakiki adalah akan kembali pada penciptanya, yakni Tuhan yang Maha Esa. Apalagi setelah 1 bulan penuh puasa di bulan Ramadan, umat Islam merayakan hari kemenangan dengan mengagungkan kebesaran Tuhan melalui takbir, tahmid dan tahlil.
Sila Kedua, mudik artinya menemui saudara, kerabat, tetangga kampong untuk saling bermaafkan merupakan pancaran manusia yang beradap. Bangsa yang menghargai tata krama, dimana yang muda datang kepada yang lebih tua untuk saling memaafkan. Anak-anak menemui kedua orang tua sebagai bentuk pengabdian seorang insan kepada ibu bapak, paman, pakde , kakek nenek utuk bersimpuh memohon doa dan maaf.
Sila ketiga, mudik artiya menjaga silaturahi dan persatuan bangsa. Dengan pulang kampong di berbagai daerah akan memupuk cinta budaya setempat atau kearifan local. Sebagai cermin dari bhinneka tunggal ika maka dilakukan saling memaafkan kepada siapa saja tanpa memandang agama, suku dan golongan. Maka mudik dapat diartikan sebagai perekat persaudaran yang terpisah dan bertemu d kampong halaman.
Sila keempat, mudik sebaga bentuk demokrasi Pancasila. Dalam fenomena mudik ini sangat erat dengan kepedulian untuk ber gotong royong membangun kampong halaman. Keluarga yang pulang kampong bermusyawarah bahu membahu membantu saudara yang membutuhkan. Disinilah penerepan demokrasi dimana setiap pemudik bisa bertukar pandangan dan menyampaikan gagasanya.
Sila kelima, mudik sebagai wujud berbagi pada sesama, yakni nilai keadilan social. Ketika mudik biasanya para pemudik membawa uang yang cukup besar untuk dibagikan kepada saudaranya di kampong halaman, fenomena social ini akan berdampak pada pemerataan keuangan dan tanggung jawab social dari warga yang datang dari kota ke desa. Berbagai rezeki sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.