Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Mesti Guru?

8 Oktober 2017   19:01 Diperbarui: 8 Oktober 2017   19:03 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau ditanya siapakah orang yang paling bertanggung jawab menghantarkan generasi saat ini menuju kejayaan masa depan? Siapakah yang mendidik  generasi muda Indonesia sehingga lahir spirit kebangsaan, meretas perjuangan kemerdekaan? Siapakah yang melahirkan tokoh-tokoh nasional yang saat ini berkuasa? Apakah semua bisa lahir dari lubang batu? Apakah semua bisa tercipta alamiah?

            Jawabannya hanya para guru, guru dan guru yang telah melahirkan mereka. Soekarno, Hatta, Natsir, Moh. Toha, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, Pangeran Diponegoro, semuanya memiliki guru. Guru masa lalu dan guru saat ini hakekatnya satu tubuh. Memiliki tugas yang sama menghantarkan Bangsa Indonesia pada kejayaan dan kemerdekaan yang sebenarnya.

            Sudah cukup klasik ungkapan bagaimana Jepang bangkit dari kehancuran hanya dengan "menggunakan" para guru. Sudah cukup populer bagaiman Finlandia maju karena "menggunakan" para guru. Semua negara maju menjadikan guru sebagai prioritas "proyek politik" masa depan bukan malah para petualang politik memainkan nasib guru.  Guru adalah "pelayan" generasi masa depan bangsa yang akan menentukan apakah suatu bangsa kelak akan terhormat atau terpuruk ditelan zaman?

            Judul di atas adalah sebuah pertanyaan. Mengapa mesti guru? Karena tidak ada jalan lain menyelamatkan sebuah bangsa hanya dengan "menyehatkan nasib" guru-gurunya.  Ratusan ribu guru honorer masih terombang-ambing nasibnya. Tidak mungkin mengubah bangsa dengan guru yang nasibnya masih "sial". Dimana-mana guru masih diperlakukan sebagai asesoris politik dan tukang upacara. Guru belum dijadikan guru yang sebenarnya.

            Penghargaan terhadap guru di negeri ini masih jauh, baik dari publik ataupun dari birokrasi. Plus  para gurupun masih lemah kesadaran kolektifnya dalam membangun kekuatan dirinya. Organiasi profesi guru masih beragam nama. Idealnya organisasi profesi guru hanya satu, tidak beragam nama seperti partai politik. Bersatulah guru dalam satu wadah. Makna Pancasila,  sila ketiga belum dipahami dengan utuh.

            Guru terkotak-kotak. Guru tidak kompeten. Guru tidak sejahtera. Guru tidak percaya diri untuk hadir di ruang publik dan menjadi tokoh publik, maka risikonya pembangunan pendidikan akan menemukan kegagalan. Guru harus bersatu. Guru harus kompeten. Guru harus paling percaya diri. Guru-guru harus menjadi tokoh publik. Guru adalah pendidik di ruang kelas dan pendidik di ruang publik. Pendidik harus terdepan di semua sudut-sudut sosial bahkan diruang politik.

            Bukankah seorang guru yang menyelamatkan TNI saat berkonflik dengan kolonialis Belanda. Bukankah Sosok Soedirman adalah seorang guru? Mengapa harus guru? Ya karena hanya gurulah sebenarnya pembawa misi perubahan yang sebenarnya.  Guru menurut Presiden Jokowi  saat Rakorpimnas 2 di Yogyakarta identikasi dari peran para nabi.  Bukankah para nabi adalah penentu keselamatan sebuah kaum, bangsa dan peradaban?

            Mengapa harus guru? Ya memang hanya melalui para  guru semua bangsa disandarkan dan dipertaruhkan masa depannya. Hanya para guru yang memiliki tugas masa depan sebuah bangsa agar maju dan sejahtera. Bila para guru hari ini masih diperlakukan sebagai anak tiri dan bagian pelengkap bukan bagian terpenting maka selama itu pula bangsa kita akan menjadi "bangsa TKI" dan "bangsa  inlander" dimana bangsanya akan mengidap penyakit imperiority compleks.

            Sehatkan guru-gurunya. Waraskan guru-gurunya. Melalui organisasi tunggal yang bermitra dengan pemerintah dan menghimpun seluruh potensi para rektor, dosen, kepsek, pengawas dan para guru di semua jenjang maka pendidikan akan lebih baik.  Selama para pendidik masih sendiri-sendiri, beragam rumah organisasi dan tidak kompeten selama itupula berbagai permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan.

            Mengapa mesti  guru? Sekali lagi negeri ini merdeka, mengisi kemerdekaan dan mencapai kejayaan hanya bisa melalui para pendidik.  Manusia adalah makhluk budaya. Kebudayaan adalah proses dari pendidikan. Guru, dosen, ulama dan berbagai misi kependidikan adalah bagian tak terpisahkan dari upaya pewarasan kolektif bangsa. Bersatulah guru menuju pendidikan bermutu.

            Memalukan bila para guru hanya bersatau dalam "emosi" mendapatkan hak TPG yang telah diperjuangkan PGRI sejak Prof. Dr. Mohamad Surya.  Sementara persatuan dan belajar kolektifnya masih dipertanyakan.  Memalukan dan memilukan bila ada guru  hari ini hidup dari TPG (hasil demo PGRI) karena gaji pokonya sudah minus tetapi amnesia  atau apatis pada organisasi PGRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun