Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minang (Tidak) Pancasilais?

8 September 2020   00:37 Diperbarui: 8 September 2020   00:59 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu, anak dan cucu proklamator Ir. Soekarno, Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani melempar narasi atas pandangannya terkait kondisi (arah politik) orang-orang Minangkabau (Minang). 

Megawati mempertanyakan, kenapa sampai hari ini masyarakat Sumatera Barat (mayoritas orang Minang) belum menyukai PDIP. Sementara itu, Puan sendiri dengan harapannya menghendaki masyarakat Minang menjadi etnis yang mendukung negara Pancasila dianggap melecehkan komitmen masyarakat Minang dalam semangat menjaga NKRI.

Narasi ini terus bergulir. Bahkan dalam percakapan media sosial, narasi ini berubah dengan kata-kata caci maki. Bahkan dalam situasi real, beberapa kelompok masyarakat juga mencoba untuk melaporkan Puan yang merupakan anak kemenakan orang Minang ini ke Polisi dan MKD DPR RI. 

Fakta ini menggelitik saya untuk melihat dengan jernih melihat pandangan politik orang Minang kekinian. Apakah pandangan (subjektif) Megawati dan Puan terhadap orang Minang benar atau justru salah besar?

Dalam rangkaian perjalanan kebangsaan, peranan tokoh-tokoh asal Minang tidak bisa dikesampingkan. Mulai dari proses perjuangan kemerdekaan hingga dengan fase mempertahankan kemerdekaan. Akan tetapi, dalam proses mengisi kemerdekaan, perlahan-perlahan ketokohan orang Minang memudar dan (sebatas) larut dengan kejayaan tokoh masa lalu.

Di mana-mana kita mendengarkan narasi kebanggaan orang Minang yang mengatakan Tan Malaka adalah salah satu penggagas Republik Indonesia. Anak-anak Minang juga membanggakan Moh. Hatta yang disebut sebagai Bapak Koperasi dan tokoh bangsa lainnya asal Minang. Terakhir, kita orang Minang masih bisa berbangga ketika putra asal Minang, Gamawan Fauzi (Mendagri era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) didapuk menerima penghargaan Charta Politika Award 2010 untuk kategori Pemimpin Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Berpengaruh di Media.

Puan dengan darah Minang-nya, sebenarnya punya kans untuk bisa menjadi tokoh baru. Apalagi dengan posisinya saat ini sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama, bisa menjadi roh model bagi para bundo kandung untuk dapat mengepakkan sayapnya di jalur pengabdian di bidang politik. Namun dalam hal ini, saya menganggap Puan "gagal" mengkapitalisasi entitas Minang-nya dengan baik. Puan gagal membaca kehendak orang-orang Minang.

Alih-alih menjadi ujung tombak suara dari ranah Minang, PDIP partai ibu Puan justru melakukan hal sebaliknya. Banyak perjuangan kebijakan PDIP yang bertentangan dengan kehendak masyarakat Minang, contohnya RUU HIP, RUU Minerba dan RUU Cipta Kerja. Dengan begini, tentu sangat wajar jika orang Minang hanya menganggap Puan sebatas "Minang genealogis" bukan orang "Minang ideologis" yang mengakar pada karakter keminangan.

Memang, tidak bisa disangkal bahwa politik identitas dalam kurun waktu enam tahun ke belakang eskalasinya semakin meningkat di Sumatera Barat. Tapi hal itu tidak berdiri tunggal, ada pemicu dan sebenarnya itu juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan konstelasi politik nasional yang seakan didesain sebagai ajang "pertempuran" pendukung Pancasila vs pendukung kelompok agama.

Jadi pernyataan Puan bukan masalah benar atau salah, bukan masalah dia anak kemanakan Minang atau tidak, tapi masalah tepat atau tidak. Dengan adanya polemik ini seharusnya bisa menjadi koreksi bagi orang Minang sekaligus otokritik terhadap Puan yang di-eo-kan sebagai turunan darah murni Minangkabau. 

Kritik bagi budaya Minang yang tak lagi mengedepankan dialektika dalam berargumentasi menyikapi suatu masalah dan membabi buta dalam mencaci maki sekaligus otokritik bagi Puan yang menyelesaikan masalah dengan sebatas membesar-besarkan geneologis keminangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun