Seorang teman perempuan bercerita tentang lima tahun pertama masa perkawinannya. Lima tahun yang penuh dengan kekerasan, baik itu dalam rupa verbal maupun fisik. Masa-masa kemesrahan sewaktu pacaran seolah luntur sewaktu sudah menikah dan tinggal berdua serumah.
Sampai suatu waktu, mungkin karena sudah kebiasaan, suaminya memukul kepalanya namun itu terjadi di depan ibunya. Tak disangka hal itu menimbulkan reaksi yang cukup keras dari ibunya. Sebagai orangtua sekaligus mama mantu, ada rasa kecewa yang luar biasa. Bahkan hal itu berujung pada ancaman perceraian.
Semenjak saat itu, suaminya tidak lagi bermain tangan. Kekerasan fisik tidak pernah terjadi. Perdebatan mulut masih sangat sulit dihindarkan. Â
Pengalaman lima tahun di awal pernikahannya itu sulit terlupakan. Masih ada rasa sesal karena telah menikah dengan laki-laki yang merupakan suaminya. Muncul juga rasa benci karena telah menikah. Bahkan dia mengatakan jika mereka berpisah, dia lebih memilih untuk hidup sendiri daripada menikah lagi.
Penyesalan itu merupakan buah dari luka yang tercipta karena kekerasan yang dialaminya. Apalagi jika efek dari kekerasan tidak diolah, hal itu akan membuat relasi menjadi hambar. Relasi terjadi terjadi karena faktor fungsi semata, terutama sebagai orangtua semata.
Oleh sebab itu, seorang laki-laki mesti menghindari diri dari melakukan kekerasan kepada pasangannya. Efek kekerasan selalu berdiam di dalam batin. Lukanya akan sulit tersembuhkan apalagi tidak ada pengolahan yang teratur dan tepat sasar.
Kaum perempuan mesti dihargai. Penghargaan kepada kaum perempuan juga nampak lewat menjaga kesehatan mental mereka. Paling tidak, kita tidak boleh menciptakan luka batin yang membuat seorang perempuan menyesali keputusannya menjadi seorang ibu atau pun seorang istri.
Salam