Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilih Nasi daripada Pizza, Bukan Berarti Gaya Hidup Kolot

31 Mei 2020   21:15 Diperbarui: 31 Mei 2020   21:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umumnya, kita begitu akrab dengan nasi. Nasi menjadi menu makanan kita dari pagi, siang dan malam. Karena kedekatan ini, kerap kali perut kita sulit menyesuaikan diri dengan situasi baru.

Misalnya, situasi yang kerap saya jumpai di Manggarai. Kadang kala, ada orang yang menyiapkan ubi kayu atau roti sebagai teman untuk minum kopi di pagi hari. Namun, itu belum cukup. Setelah itu, ada yang masih makan nasi. Menurut sebagian orang, tidak kenyang kalau makan pagi tanpa nasi. 

Begitu pula, saat kurang nasi walau lauknya banyak. Lauk yang enak tanpa nasi yang banyak seolah-olah ada yang kurang. 

Tentunya, ini sangat subyektif. Bergantung pada kebiasaan yang kita praktikkan di dalam keseharaian kita.

Ya, pernah terjadi di salah satu pesta di Filipina yang saya hadiri pada bulan Desember lalu. Sebagaimana kita di Indonesia, masyarakat Filipina juga suka makan nasi. Gara-gara nasi kurang, lauk pauk yang berlimpah ruah tidak berarti apa-apa. 

Orang lebih menyesalkan kekurangan nasi daripada berdamai dengan situasi. Kalau dipikir-pikir, untuk menebus rasa lapar, mereka bisa mengonsumsi banyak lauknya walau tanpa nasi. Namun, hal ini sulit. Tetap nasi menjadi kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar. 

Boleh jadi, ini soal kebiasaan. Kebiasan yang sudah terbangun sejak lama. Coba kalau kita membiasakan diri makan kentang, roti dan gandum sejak awal keberadaan kita di dunia. Pastinya, kita juga sulit beradaptasi untuk kita makan nasi setiap hari.

Seorang teman dari Kenya, Afrika sudah tinggal empat tahun lebih di Filipina. Dia masih sulit makan nasi. Dia selalu mencari roti atau kentang. Kalau ada kentang, dia lebih memilih kentang daripada nasi. Menurutnya, makanan pokok di tempatnya adalah kentang. Nasi sangat jarang dijumpai.

Tetapi, bagi kami, baik itu asal Indonesia, Vietnam dan Filipina, sangat sulit menghindari nasi atau sulit memilih kentang atau roti untuk mengganti nasi. Bahkan kerap kali terjadi makan nasi terlebih dahulu kemudian kalau perut belum full dilanjutkan dengan mengambil beberapa potong roti.

Soal pilihan makanan adalah soal kebiasaan. Juga, bagian dari budaya kita. 

Kita mesti menerima dan mengakui kenyataan ini. Mengubah kebiasaan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Butuh waktu. Bahkan ada orang yang sudah tinggal bertahun-tahun di luar negeri, mereka masih sulit melupakan makanan utama dari daerah asal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun