Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Mengingatkan Bahaya Corona, Tinggal di Dalam Peti Mati ataukah Tinggal di Rumah

30 Maret 2020   13:01 Diperbarui: 30 Maret 2020   13:27 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto Inquirer.net

Tinggal di rumah merupakan seruan banyak negara dan pemerintah yang dilanda wabah virus Corona. Seyogianya, kita tinggal di rumah selama 14 hari. Situasi bisa berubah bergantung pada kondisi yang terjadi.

Namun pilihan tinggal di rumah sepanjang hari dan dalam jangka waktu yang lama, misalnya 14 hari, bukanlah pilihan yang gampang. Pasalnya, identitas kita sebagai makhluk sosial.

Identitas ini menggerakkan kita untuk berinteraksi bukan saja dengan orang-orang yang sama, tetapi dengan orang-orang yang berbeda. Kita terbiasa melakukan pergerakan bukan hanya di dalam rumah, tetapi juga di tempat-tempat lain.

Makanya, tidak sedikit orang yang cepat bosan berada di rumah atau di tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama. Niat untuk keluar rumah dan berada ditempat lain kerap menjadi godaan yang sulit terhindarkan.

Kalau hal ini tidak bisa terkontrol, niat itu bisa berujung pada aksi. Ujung-ujungnya, untuk konteks masyarakat, wilayah dan negara tertentu yang menerapkan karantina ketat, aksi keluar rumah itu bisa dinilai sebagai bentuk pelanggaran.

Hemat saya, adanya sanksi dan hukuman di balik arahan dan aturan tinggal di rumah itu terjadi sebagai antisipasi pada jati diri kita sebagai manusia itu sendiri. Kita ingin bergerak dan berinteraksi dari satu ruang ke ruang yang lain dan dengan orang-orang berbeda. Tinggal di rumah menjadi sebuah beban dan bisa dilanggar.

Memang bukan mustahil untuk tinggal di satu ruang tertentu dalam jangka waktu yang lama. Sudah banyak orang yang bisa melakukan dan menunjukkan hal itu.

Contohnya, mereka yang tinggal di asrama seminari dan pesantren. Umumnya, mereka akan keluar dari kompleks seminari dan pesantren pada hari-hari tertentu saja. Selebihnya, mereka harus berada di dalam kompleks asrama, bertemu dengan orang yang sama dan melakukan jadwal yang sama.

Pada umumnya, mereka bisa melakukan itu  karena sudah melewati proses formasi dan pendidikan tertentu. Mereka sudah terlatih dalam jangka waktu tertentu.

Tetapi untuk konteks saat ini, bagi mereka yang tidak tak terbiasa, tinggal di rumah terasa memberatkan. Buktinya, walau pemerintah kerap menyeruhkan tinggal di rumah untuk menghindari wabah virus Corona, masih banyak orang yang tidak patuh. Tidak sedikit orang yang melangkahi aturan pemerintah itu dengan keluar rumah dan berkumpul dengan orang lain.

Saya kira pemerintah sadar akan hal ini. Aturan dan arahan tinggal di rumah bukanlah cara yang gampang untuk diterapkan. Pastinya, masih ada pihak-pihak yang tidak mau peduli pada aturan dan arahan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun