Kehadiran jurnalisme dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi manusia dalam mencari informasi. Semakin tinggi keinginan manusia maka semakin banyak inovasi yang dikeluarkan guna memenuhi keinginan tersebut. Inovasi ini dilakukan sejalan dengan perubahan yang ada di masyarakat. Pelebaran bidang jurnalisme pun terjadi guna mencukupi keinginan masyarakat yang semakin beragam. Salah satunya adalah kemunculan jurnalisme lher di Indonesia.
Pengertian Jurnalisme
Jurnalisme berasal dari kata Acta Diurna yang berarti peristiwa sehari-hari. Kata Acta Diurna yang digunakan pada zaman Romawi Kuno kemudian diserap ke dalam Bahasa Prancis Journal yang berarti catatan harian atau catatan kegiatan sehari-hari. Kemunculan Acta Diurna kemudian menjadi tonggak lahirnya surat kabar (Kusumaningrat, & Kusumaningrat, 2016).
Pengertian Jurnalisme Lher
Jenis jurnalisme Lher memang tidak terlalu dikenal masyarakat. Lebih sering disebut dengan jurnalisme sensasional, masyarakat kerap menyamakannya dengan jurnalisme kuning. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara keduanya.Â
Jurnalisme Lher lebih mengarah pada berita yang mengandung unsur pornografi dan membangkitkan nafsu birahi (Nurudin, 2009). Istilah yang sering dikaitkan dengan jurnalisme ini adalah 'sekwilda' (sekitar wilayah dada) dan 'bupati' (buka paha tinggi-tinggi).
Pada penerapannya, media yang mengusung jenis jurnalisme lher sering menggunakan gambar dada dan paha wanita dengan berbagai macam pose serta judul sensasional yang mengarah pada seks. Meski ditentang banyak orang, jurnalisme lher pernah hadir di Indonesia dan mempengaruhi perkembangan jurnalisme itu sendiri.Â
Catatan penting yang tidak boleh dilupakan menurut Nurudin (2009) adalah sebagai berikut:
"Jurnalisme lher muncul sebagai representasi jurnalisme masyarakat kelas bawah (hal. 237)." Produk dari jurnalisme ini lebih disukai masyarakat kelas bawah mengingat tingkat pendidikan yang belum tinggi.
Jurnalisme lher, kala orde baru, menjadi simbol perlawanan pemerintah yang otoriter yang melarang peliputan masalah politik.
Jurnalisme lher lebih mementingkan bisnis ketimbang idealisme. Kehadirannya mendatangkan keuntungan yang tak terbilang namun menggerus moral, etika, dan norma masyarakat.
Jurnalisme lher bisa jadi muncul ketika euforia kebebesan pers masih tinggi.
Jurnalisme lher terbukti merusak moral generasi muda saat mencari sesuatu yang baru.
Distribusi media yang menggunakan jurnalisme lher dijual dengan sangat bebas di Indonesia.
Kemunculan Awal Jurnalisme Lher
Kemunculan jurnalisme lher, pertama kali disambut oleh Tabloid Monitor yang terbit pada tahun 1972-an. Tak langsung mendapat sambutan, Monitor sempat istirahat karena tak laku. Di tahun 1980-an, Arswendo Atmowiloto mengambil alih. Berhiaskan gambar-gambar panas dan judul sensasional, Monitor digandrungi kalangan menengah ke bawah.Â
Monitor kemudian melejit dan berhasil menjual 450.000 eksemplar. Pada bulan kelima, penjualan mencapai angka 640.000. Tak ingin berlama dengan Monitor, Arswendo membuka tabloid baru, Monitor Minggu (MM) dengan bahasan yang sama guna mengisi akhir pekan. Dengan kelahiran MM, jumlah penjualan gabungan menjadi 800.000 eksemplar/minggu.