Tidak mengherankan, hal ini sudah meresahkan berbagai pihak, termasuk para penggiat aksi korupsi.Â
Mendagri sendiri, sempat membuat wacana untuk mengembalikan sistem Pilkada menjadi sistem tertutup. Artinya, pemilihan kepala daerah diserahkan kembali kepada pihak legislatif yang notabene adalah representasi dari masyarakat. Namun wacana ini kurang mendapat sambutan.Â
Ada kekhawatiran, perubahan sistem ini tidak mengurangi biaya politik, malah hanya memindahkan lokasi politik uang, dari masyarakat menjadi ajang transaksional di Gedung DPRD.Â
Bak Gayung tidak bersambung, wacana mengembalikan Pilkada untuk memakai kembali sistem pemilihan tertutup hilang seiring waktu.Â
Dalam gelaran Pilkada tahun ini, tetap menggunakan sistem terbuka di mana rakyat memilih langsung calon kepala daerah.
Dengan sistem yang masih sama, yakni pemilihan langsung, menjelang Pilkada serentak, partai politik dan calon kepala daerah mulai bersuara lagi, mengeluhkan makin tingginya biaya politik di Pilkada.
Mereka menyimpulkan bahwa rakyat pemilih semakin oportunis. Masyarakat hanya mau memilih seorang calon bila diberikan imbalan, baik itu berbentuk uang tunai maupun dalam bentuk barang.
Anggapan ini bisa saja benar, bisa saja salah. Tetapi sebelum menyimpulkan dan menyalahkan, sebaiknya partai politik dan calon kepala daerah mencari tahu dahulu hal ihwal yang membuat masyarakat semakin oportunis.Â
Seyogyanya partai harus sadar, bahwa anggota legislatif yang ada sekarang adalah kader partai. Kader yang mengusung kepentingan partai di parlemen.
Jangan menyalahkan masyarakat jika Undang-undang yang dibuat memiliki celah untuk dilanggar. Bukankah pembuat UU adalah kader partai sendiri, kader partai yang duduk di badan legislasi DPR. Daripada mengeluh, seharusnya partai mendorong kadernya di DPR untuk merancang Undang-Undang Pilkada yang memperkecil kecurangan.Â
Tambahan juga, selain kekurangan dari segi peraturan, ada fenomena baru yang menambah kadar oportunis masyarakat pemilih.Â