Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menindas #LGBT dengan Dalih Tidak Normal, Bukti Lain Inferioritas Kaum Mayoritas?

17 Februari 2016   18:06 Diperbarui: 17 Februari 2016   19:08 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini saya tujukan buat sesama teman kompasianer yang heteroseksual,

Saya penasaran dengan diskusi terbatas antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan perwakilan stasiun televisi mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) seperti ditulis oleh Om Brill. Mungkin ada yang bisa menuliskan detail dokumentasinya. Apakah diskusi terbatas yang katanya Melarang Tayangan Yang Mengkampanyekan LGBT ini akan membuka pintu untuk melahirkan peraturan baru dengan implikasi hukum yang baru untuk memuaskan nafsu kita sebagai mayoritas heteroseksual untuk menindas saudara-saudara kita kaum LGBT?

Tetapi lebih penasaran lagi ketika seorang pengamat membuat analisis dukungan pelarangan kampanye LGBT  berangkat dari paham mayoritas yang memaksakan gagasan mereka bahwa LGBT adalah kelainan.

Tanpa tenggelam dalam diksi dan semantik, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi nukilan sejarah yang sudah pernah terdokumentasikan dengan baik, tetapi lantas kita lupakan begitu saja. Mengapa dilupakan? Banyak sebabnya. Selain karena memang kita kerap lupa akan banyak hal secara tidak sengaja, lebih kerap lagi ialah kita memilih untuk tidak mengingatnya karena rentan mengusik kenyamanan kita.

Klik saja link dokumentasi Kompas.com ini. Dokumentasi tahun 2008 itu menyebut bahwa homoseksual bukan kelainan seksual.

Runut lagi ke belakang, ini sama dengan kebijakan dari The American Psychiatric Association (APA) yang mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental Pada tahun 1973, dan dengan demikian posisi sebelumnya (tahun 1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental klinis dihapuskan.

Langkah yang progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association dan juga oleh The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama. Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.  

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas telah dihapus dari daftar gangguan jiwa.

Membaca ini semua, kita sepertinya kehabisan amunisi karena bahkan di Indonesia sendiri kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai gangguan jiwa, lalu kita yang tidak nyaman dengan kehadiran kaum LGBT ini mencoba mempertahankan kenyamanan kita dengan menyebut mereka sebagai “tidak normal”. Akan ada seribu satu argumentasi untuk membela posisi kita kaum heteroseksual sebagai mayoritas bahwa kita mengakui HAM bagi LGBT, hanya saja bagi kita itu “tidak normal”.

Jujur atau tidak jujur mengakui, yang sekarang terjadi adalah:

Kita yang mayoritas heteroseksual merasakan bahwa mereka yang LGBT boleh ada, tetapi tidak boleh menunjukkan dirinya di depan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun