Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Resensi Film] The Mahuzes: Konflik Masyarakat Adat dan Industri Kelapa Sawit

14 Juli 2017   12:31 Diperbarui: 19 Juli 2017   15:43 7198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Malam itu saya menonton sebuah film documenter karya watchdoc yang vocal mengkritik peristiwa sosial dan politik dari sabang sampai merauke. Namun tak jarang pula mereka menyajikan karya positif lewat tampilan budaya dan keunikan suku di Indonesia. Dari sekian banyak film yang ditampilkan watchdoc, kali ini saya memutuskan untuk menonton film The MAHUZEs.

Pemilihan film ini saya lakukan dipengaruhi beberapa faktor, pertama, muncul rasa penasaran yang sangat dan amat besar untuk menonton film yang dipublikasikan pada 28 Agustus 2015. Kedua, film ini membahas papua yang memiliki sejuta keunikan alam dan budayanya dan jangan lupa, Papua memiliki segudang permasalahan mulai dari pendidikan, SDM, perampasan alam, pelanggaran HAM dan konflik sosial antar suku yang belum tuntas. Alasan terakhir keinginan saya menonton film tersebut karena judul film yang mengundang sejuta tanya bagi saya dan mereka yang memang benar-benar menyukai film dokumenter.

THE MAHUZEs? Film garapan Dandhy Laksonono dan kawan-kawan atau yang biasa disebut Ekspedisi Indonesia Biru ini, mengangkat konflik sengit yang terjadi antara masyarakat adat Malind dan industri kelapa sawit. Suku Malind tinggal di pelosok Merauke. Merauke adalah kabupaten yang letaknya di wilayah paling timur Indonesia. Luas tanah Merauke sekitar 4,7 juta hektare dan 95.3% adalah hutan. Di Merauke terdapat beragam jenis suku, salah satunya Suku Malind. Suku Malind pun memiliki beragam marga dan Mahuze adalah salah satunya.

Diawali ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Distrik Kurik, Merauke pada 10 Mei 2015 untuk membangun sawah di papua seluas 1,2 juta Ha dalam kurun waktu 3 tahun, namun pada kenyataannya, lahan yang tersedia saat ini hanya 500 ribu Ha. Anehnya lagi, pemerintah belanda dulunya pernah mencetak 43 ribu Ha sawah dan membutuhkan waktu selama 60 tahun (1954-2014).

Singkat kata, pemerintah Indonesia ingin menjadikan Papua sebagai lumbung pangan (beras) dan energi untuk kepentingan ekspor. Proyek ini biasa disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Sebenarnya, langkah yang dilakukan pemerintah untuk membangun Papua sangat baik, namun pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan nasib masyarakat asli Papua? Apakah mereka bisa menerima kebijakan ini? Apakah tidak akan terjadi penolakan dari masyarakat asli? Apakah dengan membabat hutan, pemerintah dapat mensejahterakan kehidupan mereka? Atau justru semakin memperbudak kehidupan mereka? Bagaimana pula dampaknya terhadap hutan sebagai ladang perburuan dan basis ekonomi mereka?

Mengingat kehidupan mereka tidak terbiasa dengan bercocok tanam dan beternak. Mereka juga menganggap hutan adalah rahim ibu yang memberikan kehidupan. Dari hutan mereka bisa langsung memperoleh makanan dengan berburu binatang dan memangkur (memanen) sagu. Sebab alam menyediakan segalanya secara gratis. Sagu adalah makanan pokok masyarakat Papua.

Kekhawatiran ini akhirnya terjawab dan benar adanya bahwa suku Malind yang dihuni Marga MAHUZEs secara tegas menolak hutan dan tempat tinggal mereka dihancurkan untuk diganti dengan perusahaan kelapa sawit dan nantinya mereka menjadi buruh, bukan menjadi tuan dan nyonya di tanahnya sendiri.

Penolakan tersebut akhirnya berujung konflik yang diawali ketika salah satu sesepuh Marga Mahuze menerima 'amplop' dari perusahaan. Sejak saat itu perusahaan datang dengan mengerahkan buldozernya. Hutan ulayat hendak diratakan dengan tanah. Pada tanggal 21 Juni 2015, para marga mengadakan Rapat besar untuk bermusyawarah mengenai hal tersebut. Menjelang tengah malam situasi semakin memanas. Namun akhirnya disepakati bahwasanya tanah ulayat Marga Mahuze tidak boleh dijual kepada perusahaan kelapa sawit. Dalam situasi dan kondisi apapun, tanah tidak boleh dijual.

Di lain hal, proyek MIFEE yang sudah dijelaskan di atas membawa dampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat Papua, salah satunya pencemaran air. Selain membabat habis hutan dan menghilangkan sumber pangan dan sandang pribumi Papua, air sungai akan terkontaminasi oleh limbah. Tidak hanya limbah kelapa sawit, tetapi juga limbah kayu serpih. Pribumi Papua kesulitan mencari air bersih dan ikan-ikan di sungai.

Akibat penolakan tersebut, palang yang sengaja dipasang oleh Marga MAHUZEs supaya tidak diserobot dan tidak terjadi pengrusakan hutan adat, dua oknum sewaan dari perusahaan PT. ACP (Kelapa Sawit) memaksa agar plangtersebut dilepas. Warga yang kebetulan ada di sekitar tidak berani melawan dan hanya pasrah melihat hal tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun