Mohon tunggu...
Doharman Sitopu
Doharman Sitopu Mohon Tunggu... Penulis - Manajemen dan Motivasi

Seorang Pembelajar berbasis etos , Founder sebuah lembaga Training Consulting, Alumni YOKOHAMA KENSHU CENTER--JAPAN, Alumni PROAKTIF SCHOOLEN JAKARTA, Penulis buku "Menjadi Ghost Writer"--Chitra Dega Publishing 2010, Founder sebuah perusahaan Mechanical Electrical (Khususnya HVAC), Magister dalam ilmu manajemen, Memiliki impian menjadi Guru.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Mobil Murah atau Mobil Bersubsidi?

21 September 2013   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Menyikapi perkembangan akhir-akhir ini terkait LCGC (Low Cost Green Car) atau yang digembar gemborkan dengan sebutan mobil murah, rasanya tak tahan untuk tidak angkat bicara. Namun jangan harap saya akan bicara tentang kaitannya dengan kemacetan, atau mengulas mengapa mobil ini disebut-sebut sebagai mobil ramah lingkungan. Saya akan coba lihat dari sudut pandang yang lain.

Mobil Nasional

Sejatinya mobil nasional ( baca: bukan mobil murah) sudah beberapa kali diupayakan dan di-release di negeri tercinta ini, namun kembali lagi terbentur dengan berbagai aspek yang tak mungkin dibahas dalam tulisan ini. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana program mobil nasional yang digagas PT Timor terdahulu, yang bekerja sama dengan produsen mobil Korea Selatan---dengan hanya menempel emblem berbau lokal ( agar terkesan produk nasional ) kemudian memasarkannya dengan fasilitas keringanan pajak dari pemerintah. Alhasil mobil ini dapat mengaspal dengan harga jauh lebih murah dibanding mobil sejenis yang tidak mendapat fasilitas yang sama. Lantas mobil itu dijual ke rakyat dengan sebutan ‘mobil nasional’. Atas program ini beberapa pabrikan Jepang melalui pemerintahnya naik banding ke WTO---mengadukan Indonesia yang menurut mereka tidak fair waktu itu. Kembali ke program mobil nasional dengan Korea itu, entah apanya yang memungkinkan disebut mobil nasional, tak terjawab hingga kini karena tak lama kemudian proyek itu tersendat.

Masih segar juga dalam ingatan kita bagaimana jerih juang beberapa ATPM untuk mencapai apa yang disyaratkan pemerintah dengan peraturan ‘kandungan lokal’ pada kendaraan yang digadang-gadang akan menjadi mobil nasional bila memenuhi kualifikasi tertentu. Namun hingga kini belum pernah sekali pun pemerintah mengumumkan sebuah mobil yang didaulat menyandang predikat itu karena sudah lulus kualifikasi.Tidak jelasjuga apa kendalanya, apa masalahnya---apalagi langkah selanjutnya apa.

Cerita lain terkait hal yang sama, paling anyar adalah program mobil buatan anak bangsa dari Solo---ESEMKA. Tak kurang dari Jokowi yang saat itu menjabat Walikota Solo, terlibat penuh mendukungnya, bahkan mengendarainya sendiri ketika akan diuji di BPPT Serpong. Sejatinya kisah heroik dari Solo ini sungguh menggugah nasionalisme anak bangsa, yang ingin membuktikan diri mampu layaknya bangsa lain. Tak usahlah sebut Jepang atau Amerika, sebut saja Malaysia yang telah mampu membuat ‘kereta’ bermerek Proton menjadi raja di negeri sendiri.

Hampir bersamaan dengan proyek ESEMKA diatas—muncul pula gaung yang lebih nyaring yakni LCGC---yang pada umumnya dihela oleh pabrikan asal Jepang. Entahlah, apakah LCGC ini merupakan respon dari beberapa upaya ‘anak bangsa membuat mobil kebanggaannya’, atau memang ada kelindannnya dengan itu. Who one knows. Namun dalam hati saya yakin, sekecil apa pun gerakan di negeri tercinta ini terkait otomotif, pastitak lepas dari pantauan ‘saudara tua’ kita dari negeri matahari terbit itu. Tengok saja, saat gencar-gencarnya motor China membanjiri negeri tercinta ini dengan produk-produk murahnya, spontan membangunkan produsen-produsen negara Samurai tersebut. Segera saja beberapa pabrikan Jepang yang tadinya berkompetisi, tiba-tiba akur merapatkan barisan untuk memerangi saingan baru yang sempat mengkhawatirkan kelangsungan produk mereka. Tak tanggung-tanggung supplier-supplier lokal mendapat ‘teguran’, bila memasok ke perakitan motor China akan dicoret dari AVL (Approved Vendor List) pabrikan motor Jepang tersebut. Teguran ini cukup efektif. Tak lama kemudian rival dari negeri tirai bambu itu pun mundur teratur dari pasar. Di samping tergilas kekuatan Jepang di pasar otomotif nasional, hal lain yang menyebabkan produk China kalah bersaing adalah faktor kualitas yang jauh di bawah standar.

Perakit versus pembuat

Sejatinya modus yang dilakukan Timor dengan Produsen mobil Korea Selatan tidak jauh degan apa yang dilakukan ATPM pabrikan LCGC. Secara prinsip mobil tetap menyandang predikat mobil Jepang sebagai prinsipal (Hasil design, uji coba, hak cipta, hak intelektual---ada pada perusahaan Jepang). Hanya saja telah melibatkan tenaga kerja lokal dalam design, terutama dalam seleksi vendor pembuat komponennya, dan tentu operasional dan manajemen supply perakitan dan distribusinya. Sedangkan Management secara total tetap dikuasai oleh pihak prinsipal.

Bila ditilik dari sudut pandang industri pemasok komponen dalam negeri, sebetulnya tidak berbeda jauh dengan kondisi memasok kendaraan yang tidak termasuk LCGC. Selanjutnya untuk LCGC lebih ditekankan bagaimana menekan biaya produksi yang dapat menurunkan harga jual ke ATPM. Hal ini menyebabkan margin yang dapat dinikmati oleh pemasok menjadi lebih sempit. Namun dengan harapan akan menikmati volume bisnis yang besar, dan karena tak ada pilihan lain---memaksa pemasok pemasok lokal ‘harus’ turut pada maunya pabrikan-pabrikan itu. Bila kita amati lebih jauh, di negeri kita ini pasar kendaraan bermotor mayoritas dikuasai oleh merek-merek dari Jepang. Jadi mereka memiliki bargaining power yang sangat kuat, baik terhadap supplier maupun pemerintah.

Berbicara mengenai kemampuan pemasok komponen dalam negeri, dapat dikatakan sebenarnya mayoritas masih juga dikuasai pihak prinsipal, dan asing. Dapat kita lihat demikian banyaknya perusahaan rekanan ATPM yang dengan sengaja didatangkan dari negara asal mereka untuk memasok perakitan merek tertentu di Indonesia. Adapun pemasok murni lokal masih terbatas pada pembuatan komponen yang bersifat padat karya, sedangkan fabrikasi komponen syarat teknologi masih dikuasai asing.

Hal ini masih diperburuk lagi dengan ketidak mampuan negeri ini untuk memasok bahan baku untuk pembuatan komponen mobil itu sendiri. Sebut saja baja ataupun plastik . Hampir seluruh bahan baku mobil adalah import. Jika bahan baku mayoritas import, teknologi proses pembuatan komponen masih dikuasai asing dan prinsipal, maka kontribusi anak bangsa pada umumnya berkutat dalam operational manufacturingnya. Jujur harus kita akui bahwa sejatinya dalam hal pembuatan kendaraan bermotor kita masih lebih cocok disebut perakit, belum pembuat.Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Padalah sudah lebih dari 30 tahun negeri ini ‘belajar’ membuat mobil, namun hingga hari ini belum sepenuhnya menyandang predikat ‘pembuat mobil’. Ibarat membuat pakaian kita masih berpredikat tukang jahit.

Mobil bersubsidi?

Sebetulnya murah itu bagaikan pedang bermata dua. Sepintas kedengarannya memihak rakyat yang pada saat ini sedang bertransformasi naik menuju kalangan menengah. Begitu banyaknya rakyat kita yang saat ini berstatus pemotor sedang menuju menjadi pemobil.Memang terjadi gayung bersambut antara demand dan supply.

Namun bila sebagian atau seluruh mobil yang diproduksi dirancang mengkonsumsi pertamax, rasanya bertolak belakang dengan keberpihakan itu. Bisa-bisa mampu beli mobil tapi tidak mampu beli bahan bakar. Padahal dengan design bahan bakar premium bersubsisdi sebetulnya subsidi pemerintah akan lebih tepat sasaran, sehingga rakyat mendapat 2 paket sekaligus, yakni mobil dan BBM-nya. Di sisi lain, pada satu titik nanti bila komunitas mobil ini berada pada jumlah besar, selanjutnya akan memberatkan beban negara dalam menanggung subsidi.

Design untuk perkotaan

Bila bicara mengenai rancang bangun mobil murah yang rata-rata cenderung mengusung konsep City Car itu, maka lebih cocok dipakai di daerah perkotaan, dan bukan untuk pedesaan di mana 80 persen Rakyat Indonesia berdomisili. Agaknya modus mobil murah kali ini belum mengusung aspirasi rakyat secara menyeluruh, masih segmental untuk mereka yang tinggal di daerah dengan jalan mulus. Sudah bukan rahasia umum lagi kondisi jalan di negeri ini sebetulnya tidak begitu bagus, banyak berlubang dan bergelombang, sehingga membutuhkan kendaraan dengan Ground Clearance yang tinggi. Mengapa City Car diprioritaskan? Bukankah ini hanya berorientasi pasar?

Siklus berulang

Agaknya apa pun program yang bertajuk otomotif di negeri ini merupakan cerita yang tiada putus-putusnya (never ending story). Gagal menjalankan proyek ini dilanjutkan dengan menyasar proyek yang lain, dan ujung-ujungnya menjadi polemik, pro dan kontra, dan sayup-sayup menghilang. Sangat miris bila mengikuti sejarah otomotif nasional, dimana China pernah benchmarking ke ASTRA di penghujung tahun 70-an untuk perakitan kendaran roda dua mereka ( ini cerita seorang tokoh otomotif), dan Malaysia yang benchmarking ke Indonesia sebelum mencanangkan industri otomotif mereka. Sekarang kita bisa kita saksikan sendiri kedua negara itu sudah mampu setidaknya memiliki dan membuat kendaraan dengan design dan merek sendiri. Bandingkan dengan tempat mereka benchmarking (Indonesia) sebetulnya telah start lebih dulu, yang hingga hari ini masih tetap berstatus perakit dan pemakai. Agaknya siklus berbagai macam program otomotif nasional berputar dan jalan di tempat saja, belum beranjak signifikan.

Mobil Listrik

Masih ingat dengan wacana-wacana mobil listrik yang mengemuka belakangan ini? Tak kurang dari menteri BUMN---Dahlan Iskan yang gencar dengan uji coba mobil listriknya, hingga nyelonong pada sebuah kecelakaan uji coba mobil listrik baru-baru ini. Namun dikhawatirkan wacana-wacana seperti ini akan bernasib sama dengan program-program otomotif yang telah dibahas di atas. Point-nya adalah, apa kekuatan kita dalam mobil listrik, apakah ingin menjadi perakit, pemakai saja, atau memilih sebagian dari padanya saja, namun benar-benar kompeten dan disegani. Hal itu harus diputuskan dari awal. Jika memutuskan menjadi pembuat atau manufacturer, apa langkah untuk itu, sarana prasarana apa yang dibutuhkan. Atau jika kita memilih sebagai user saja, kita bisa menggali potensi bidang yang lain, yang benar benar kita kuasai teknologi, maupun pasarnya. Jima memang tidak, lupakan saja mobil listrik, agar jangan setengah-setengah. Kita perlu belajar dari kisah berikut.

Pesawat Terbang

Mestinya kita tak pernah melupakan parodi IPTN ( Sekarang PT Dirgantara Indonesia )---yang telah menghabiskanbiaya yang sangat besar untuk membangun infrastruktur pembuatan pesawat di Bandung. Tak kurang dari budget reboisasi dialihkan untuk mendanai mega proyek tersebut. Point yang ingin saya katakan adalah, mengapa perlu buat pesawat kalau bikin sepeda motor saja belum kompeten? Jika membuat kendaraan roda empat, truk, kerete api saja belum mumpuni? Ironisnya apa yang terjadi? Setelah berjuang membuat pesawat, ujung-ujungnya ditukar dengan gabah dari vietnam. Ini hal yang konyol dan memalukan. Jika demikian, lebih baik kita perdalam saja sektor pertanian. Atau jika tetap ngotot di bidang industri, mengapa tidak memperdalam bidang otomotif saja dengan dana yang besar itu? Bukankah Indonesia adalah Pasar besar otomotif? Atau lupakan teknologi, konsentrasi saja dalam pertanian. Bukankah negeri ini sedari dulu menjuluki diri negara agraris? Jika kita maju di sektor pertanian, kan biasa beli pesawat? Praktis kan? Gitu aja kok repot (meminjam istilah Gus Dur).

Kembali ke Mobil Murah

Mobil murah, mobil mahal, mobil nasional, mobil bersubsidi sebetulnya tidaklah penting dipersoalkan. Yang penting adalah apa benefit dari proyek ini. Jangan murah di sini, mahal di sana. Murah saat membeli, mahal sewaktu memakai akibat BBM-nya mahal. Berikut ada beberapa wacana dari saya:

1.Perlu memperjelas dan menggali kembali apa tujuan dan sasaran proyek mobil murah ini, jangan hanya sekedar memberi peluang punya mobil bagi kalangan menengah bawah. Jangan mendidik rakyat konsumtif. Seperti kata Jokowi, bukankah yang dibutuhkan rakyat adalah transportasi murah?

2.Segment yang disasar sesuai golongan ekonomi, dan design sesuai dengan medan/jalan. Saya sarankan prioritaskan sarana pengangkutan orang dan barang di pedesaan, sedangkan City Car adalah priorotas kesekian.

3.Seyogiyanya pemerintah punya pemasukan PpnBM setiap transaksi penjualan mobil. Dari mana konpensasinya?

4.Apakah menurut pemerintah harga yang ditawarkan ATPM sudah benar-benar murah setelah dipotong pajak, jangan-jangan masih mahal? Bagaimana mekanisme pengawasannya?

5.Jangan seperti proyek pembuatan pesawat, ujung-ujungnya diganti gabah. Minimalkan potensi-potensi biaya tinggi akibat kebijakan yang tidak konsisten.

6.Mengapa kita tidak seheboh ini bila membahas sektor dan wacana pertanian, mengapa jika membahas mobil listrik dan mobil murah begitu berapi-api?

7.Perlu bargaining dengan para pabrikan Jepang, jangan sekedar meluncurkan proyek hanya untuk memuluskan pasar mereka dengan dalih rakyat dan mobil murah. Sudah jelas dengan adanya mobil murah yang diuntungkan adalah pihak pabrikan. Meraka menekan pemasok dalam negeri (sst...konon kecuali pemasok Jepang ).

8.Sebaiknya ada masa sosialisasi sebelum meluncurkan sebuah program, apa lagi program yang skalanya nasional agar tidak terjadi pro dan kontra yang mengganggu.

9.Percepat alih teknologi otomotif, sudah waktunya Indonesia memilih kompetensi sebagian atau menyeluruh dalam teknologi otomotif agar bisa berkontribusi dalam pasar global. Kita bisa bercermin pada Italy yang jago dalam design mobil. Indonesia jago apa?

10.Akhiri dominasi Jepang di Indonesia dengan menghadirkan kompetitor yang imbang, misalnya pabrikan Eropa atau Amerika

11.Perlunya sebuah institusi yang berkonsentrasi dalam otomotif yang dapat menghimpun para ahli sehingga mereka lebih dihargai sesuai keahliannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun