Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikmati Kesunyatan Lewat Tembang Transendental

3 Maret 2022   21:02 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Nyepi tahun ini yang jatuh pada hari Kamis, 3 Maret 2022 terasa istimewa. Hari penanda pergantian tahun baru bagi saudara-saudara kita yang beragama Hindu bertepatan dengan Hari Pendengaran Sedunia.

Kesunyatan yang menjadi ciri khas Hari Nyepi selaras dengan tema Hari Pendengaran 2022 yakni "To hear for life, listen with care" (Mendengar untuk Kehidupan, Menyimak dengan Peduli). Terlepas dari keberbarengan dua peringatan ini, pergantian tahun baru Hindu memang identik dengan empat keheningan transendental yang jauh dari kehirukpikukan, yaitu amati geni (hening cipta), amati karya (hening laku), amati lelungan (hening langkah) dan amati lelanguan (hening suara).

Kehidupan kini dipenuhi kebisingan. Ian Antono, gitaris God Bless dalam lagunya yang berjudul Balada Sejuta Wajah (1980) dengan tepat menuliskan lirik 'Mengapa semua berkejaran dalam bising?' Meski konteks kalimat tersebut lebih kepada kehidupan di kota metropolitan. Bahkan tulisan ini sekalipun sedikit banyak menciptakan kebisingan dalam benak pembacanya. Dan untuk menguranginya, saya akan mengajak para pembaca untuk berkenalan dengan jejak-jejak budaya saat kehidupan masih sangat alami. Dunia yang dipenuhi bebunyian dan suara alam.    

Tuva dan Throat Singing

Tempat ke mana kita akan berkelana adalah Rusia---tepatnya adalah Republik Tuva. Tentu kita tidak akan bicara tentang dinamika kekinian Negara Beruang Merah dengan Ukraina.  Tuva yang termasuk ke dalam federasi Rusia yang memiliki tradisi bernyanyi dengan teknik throat singing (suara tenggorokan) dengan tiga teknik utama yaitu Khoomei (suara dalam lembut), Kargyraa (geraman) dan Sygyt (siulan). 

Throat singing secara definisi adalah, "Bayangkan manusia bagpipe (alat musik tiup tradisional asal Skotlandia)---seseorang yang bisa menyanyikan nada rendah yang berkelanjutan sambil menyenandungkan melodi yang menyeramkan seperti peluit atau siulan. Untuk perbandingan yang baik, ambilah irama yang mirip dengan jaw harp (semacam karinding atau genggong), tetapi dihasilkan secara vokal---oleh orang yang sama, pada waktu yang sama." (Newsweek, 17 Maret 2006)

Teknik bernyanyi ini konon menurut para ahli bahasa sudah ada sebelum manusia menemukan bahasa. Leluhur kita bermain-main dengan pita suara yang baru ia kenali. Meniru suara angin, air dan suara alam lainnya. Sebuah teori yang bermadzhab onomatopeik. Menurut madzhab ini bahasa merupakan hasil peniruan manusia atas suara alam. John McWhorter, Ph.D. dari Unirvesitas Columbia dalam tulisannya Origin of Language: When Did It Start and How Did It Evolve? menyimpulkan bahwa, "Asal mula bahasa barangkali karena kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Kata-kata pertamanya mungkin berupa lolongan dan siulan, namun akhirnya suara-suara itu berevolusi membentuk sebuah cara berkomunikasi yang sistematis bagi manusia."     

Throat Singing: Jejak Evolusi Onomatopeik?

Saya sendiri cenderung menerima pandangan bahwa bahasa merupakan kemampuan manusia yang bersifat given. Kemampuan berbahasa manusia telah ada sejak ia diciptakan di dunia ini. Kemampuan berbahasanya tertanam di dalam otak bagian lobus temporal kirinya. Kemampuan berbahasa (baca: berbicara) inilah yang justru memungkinkan ia mampu meniru berbagai bunyi dan suara lainnya. Bahasa, menurut McWhorter diyakini para ilmuwan baru ada sekitar 150.000 tahun lalu. Tidak ada yang salah dengan simpulan para ilmuwan ini sejak ilmu pengetahuan pijakannya adalah fakta dan temuan yang terkonfirmasi secara ilmiah. Sains akan bisu tentang apa yang tidak terkonfirmasi secara ilmiah. Namun, tidak (atau belum) terkonfirmasinya sesuatu tidak menjadikan simpulan bahwa sesuatu itu tidak ada. Pendapat yang secara umum dianut bahwa bahasa semuda 150.000 tahunlah yang menjadikan beberapa ilmuwan berpendapat kalau throat singing merupakan seni bernyanyi leluhur kita saat mereka belum menemukan bahasa.      

Bunyi suara yang dihasilkan throat singing sendiri sangatlah eksotik. Teknik Sygyt menghasilkan bunyi mirip alat musik tiup tradisional Sunda karinding. Sebagaimana kita ketahui teknik bernyanyi seperti ini menyebar hampir di semua tempat dan peradaban: Afrika, Asia Tengah, Eropa, Amerika Selatan, Nusantara dan Australia. Hanya saja salah satu contoh yang disampaikan dalam tulisan ini adalah Tuva, Rusia---yang berdekatan dengan Mongolia atau kawasan Asia Tengah---dan lebih mengerucut lagi melalui Alash, trio throat singers yang beranggotakan Bady-Dorzhu Ondar, Ayan ool-Sam dan Asyan Shirizhik. Tema lagu-lagu Alash sendiri sangat identik dengan alam seperti sungai, gunung, kuda, sapi atau stepa. Alash adalah salah satu rujukan terbaik untuk menikmati jejak tembangan leluhur kita pada masa awal fajar kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun