Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesta yang Berujung Petaka

20 Juli 2025   09:40 Diperbarui: 20 Juli 2025   09:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pesta rakyat yang digelar di Garut, Jawa Barat, Jumat (18/7/2025), berubah menjadi petaka. Dalam acara syukuran pernikahan anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Kepala Polda Metro Jaya Irjen Karyoto, warga berdesakan untuk memperoleh makanan. Tiga orang meninggal, puluhan lainnya jatuh pingsan.

Penyelenggara menyebut tidak pernah ada pengumuman pembagian makanan gratis. Namun, informasi menyebar di media sosial dan menyulut ekspektasi ribuan warga. Yang terjadi kemudian adalah kerumunan tanpa kendali.

Tragedi ini menyisakan pelajaran penting tentang bagaimana kekuasaan, ruang publik, dan relasi dengan rakyat dikelola. Bahwa acara ini dibingkai sebagai bentuk "syukur dan berbagi" semestinya tidak menjadi dalih meniadakan tanggung jawab.

Apa pun niat baik penyelenggara, fakta di lapangan menunjukkan kelalaian manajerial. Ribuan orang diarahkan ke satu pintu masuk. Tak ada sistem pengaturan antrean. Panitia tidak cukup sigap membagi antara hiburan dan logistik. Dan ketika tubuh-tubuh mulai tumbang, aparat tidak cukup sigap mencegah jatuhnya korban jiwa.

Ironisnya, tragedi ini terjadi di jantung kekuasaan lokal: Pendopo Kabupaten. Ruang yang seharusnya merepresentasikan kehadiran negara yang aman dan tertib justru menjadi saksi hilangnya nyawa warga kecil.

Salah satu korban tewas adalah Bripka Cecep Bahri, anggota Bhabinkamtibmas yang sedang bertugas. Ia meninggal setelah membantu mengevakuasi warga yang kesulitan bernapas. Korban lainnya adalah Vania Aprilia (8), anak seorang pedagang minuman, yang kehabisan oksigen saat kerumunan memuncak.

Tragedi ini bukan sekadar soal "musibah", melainkan tentang kegagalan membaca gejala sosial. Ketika kerumunan datang bukan untuk bergembira, tetapi untuk berebut makanan, itu adalah alarm tentang ketimpangan. Dalam kondisi masyarakat yang rentan, informasi tentang makan gratis menjadi pemicu ledakan kerumunan.

Sudah saatnya pejabat publik mengevaluasi model "pesta rakyat" yang kerap digelar dalam bingkai populisme seremonial. Niat baik saja tidak cukup. Harus ada perencanaan matang, protokol keselamatan, dan pemahaman mendalam tentang dinamika masyarakat.

Pengelolaan kerumunan adalah isu serius dalam masyarakat pascabencana, pascapandemi, dan pascareformasi. Negara harus hadir bukan hanya dalam bentuk panggung hiburan, tetapi juga dalam sistem yang melindungi.

Lebih dari itu, tragedi di Garut menunjukkan bahwa ruang publik masih rawan dikooptasi simbol kekuasaan tanpa mitigasi sosial yang layak. Jika pesta rakyat masih dijalankan tanpa pelajaran dari peristiwa ini, maka kita sedang merayakan kekuasaan dengan mempertaruhkan nyawa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun