Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironis, "Pribumi" di Pidato Anies

19 Oktober 2017   10:30 Diperbarui: 19 Oktober 2017   11:28 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diketahui mulai menanjak namanya dan bersinar di tingkat nasional saat ia dengan fasih dan gigih mendampingi serta menangkis setiap serangan kampanye hitam dan nyaris mematikan yang ditujukan kepada Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres tahun 2014 yang lalu. Sehingga Jokowi berhasil memenangkan pertarungan sengit tersebut, kendati bukan semata-mata karena jasanya, tetapi setidaknya ia memiliki andil cukup berarti. 

Dialah Anis Rasyid Baswedan, sosok cendekiawan muslim muda yang saat ini menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dan memegang tampuk pimpinan sebagai Gubernur. Dalam berbagai kesempatan kala itu ia menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak setuju dan menentang kalau issu agama digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan saingan atau lawan politik. Atau dengan kata lain ketidaksetujuannya kalau issu agama dan suku (SARA) dijadikan kendaraan untuk mencapai tujuan politik, yang kerap disebut sebagai politik identitas.

Namun ketika Anies didaulat untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta dan ikut bertarung dalam Pilkada DKI tahun lalu, dan kemudian ia berhasil memenangi perebutan kursi DKI 1 itu justru berkat atau memanfaatkan sekaligus menikmati issu agama yang dikembangkan saat itu. Sungguh ironis memang. Sebagian pihak menganggap bahwa jalan yang ditempuh tersebut sah-sah saja. 

Apalagi bila ditinjau dari hukum positif, memang tidak ada aturan yang dilanggar. Tetapi bagi orang yang mengaku agama sebagai pedoman hidup, khususnya agama Islam yang inti ajarannya adalah menyempurnakan akhlak mulia, maka kepekaan dan kehalusan budi pekerti dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam dunia politik, seharusnya dimiliki oleh sosok setingkat Anis. Namun harapan tinggal harapan, dalam kenyataannya ia telah memainkan peran layaknya seorang oportunis, sebuah istilah yang belakangan jarang dimunculkan, dan tidak konsisten yang dalam terminologi Jawa disebut "mencla-mencle". Sebuah predikat yang tercela dan jauh dari ajaran akhlak mulia.

Kalau pendekatannya semata-mata aturan atau hukum, sebagai contoh sebut saja misalnya soal perbuatan fitnah. Dalam pandangan Islam jelas-jelas disebutkan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Namun gara-gara perkara perbuatan fitnah tersebut tidak dibahas dan dicantumkan kedudukan hukumnya dalam ilmu fiqh, apalagi sebagai hukum positif di Negara Indonesia, akibatnya banyak orang tak terkecuali kelompok Islam alih-alih merasa berdosa dan bersalah justru dengan tenang seringkali mengumbar fitnah, dan seakan-akan ayat yang menyebutkan tentang status perbuatan fitnah tersebut dianggap angin lalu dan sama sekali tidak ada artinya sebagai sebuah ajaran dan pedoman hidup. 

Padahal dalam ayat lain disebutkan bahwa barangsiapa yang tidak memuliakan akhlak (salah satu indikasinya adalah menya-nyiakan anak yatim dan tidak memberikan makan kaum miskin) adalah termasuk orang-orang yang mendustakan agama dan munafik. Sebagai sosok yang sangat memahami agama, berkarakter dan berintegritas, lagi-lagi seharusnya, Anis menolak kemenangannya untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, namun tampaknya ia lebih memilih dan mencintai jabatan dari pada agamanya.

Tak hanya itu, dengan kemampuan berbahasa dan menyusun kata yang jauh di atas rata-rata ia telah memainkan kata-kata dalam menyiapkan pidato pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta seraya "bersembunyi" di balik pengutipan 5 pepatah dari kearifan lokal sejumlah suku yang ada di Jakarta guna memberikan kesan seolah-olah "gubernur untuk semua" sebagai sasaran antara, sebelum akhirnya ia menghunjamkan "pisau bedah" dengan mengkombinasikan kata "pribumi" dan pepatah Madura dalam satu tarikan nafas, untuk membangkitkan, mengkesploitasi dan mengkapitalisasi sentimen kedaerahan (etnis Betawi) yang sejak lama tertindas dan terpinggirkan, sebagai sasaran sesungguhnya, guna menjaga dan mengembangkan eksistensinya. 

Alasan yang disampaikan untuk menjelaskan penggunaan diksi kata "pribumi" antara lain dengan menyebutkan bahwa hanya orang-orang Jakarta yang menyaksikan secara langsung keberadaan orang-orang Belanda yang bercokol di Indonesia, dan tidak demikian dengan orang-orang di pelosok desa,tidak sepenuhnya benar sekaligus  menunjukkan dan membuktikan bahwa ia tidak memahami persis apa yang dikatakan. Sebab di pelosok-pelosok desa yang terdapat perusahaan perkebunan milik Belanda, seperti di kampung halaman penulis, bahkan setiap hari orang-orang desa tersebut berjumpa dan berinteraksi dengan tuan-tuan Belanda. 

Kalau kesemua itu benar demikian adanya, maka ia telah gagal memerankan dan memberikan contoh serta "role model" sosok politisi cendekiawan muslim yang sejati. Alih-alih membuat terobosan layaknya pendekar mabok seperti yang telah dipertontonkan gubernur pendahulunya (AHOK), apalagi negarawan, tak lebih hanya politisi biasa seperti pada umumnnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun