Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota Batavia, Awalnya "Ratu dari Timur", namun Akhirnya "Kuburan dari Timur"

17 Februari 2021   11:43 Diperbarui: 17 Februari 2021   12:08 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istana Daendels di Waterloo Plein, sekarang Kapangan Banteng (Foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Salah satu negara yang sejak berabad-abad lalu sudah mempunyai teknologi tinggi dalam pengendalian banjir adalah Negeri Belanda. Belanda yang sering disebut Nederland, memang bermakna "negeri di bawah permukaan air laut". Bila tidak bisa mengelola air, bisa dipastikan seluruh negeri akan tenggelam.

Maka, agar air tidak menggenang, dibangunlah berbagai kanal atau dam. Ini tercermin dari nama-nama kota di sana, seperti Amsterdam dan Rotterdam. Selain itu, dibangun pompa-pompa penyedot untuk mengalirkan air ke laut. Pompa itu menggunakan tenaga kincir angin. Karenanya, seberapapun besarnya curah hujan, Belanda tidak pernah kebanjiran.

Sebenarnya, pembangunan kota Batavia (cikal bakal Jakarta), dirancang sesuai kota-kota di Belanda itu. Jumlah kali (sungai) di Batavia semasa pemerintahan VOC atau Kompeni sangat banyak. Bahkan, orang-orang Belanda menggali pula kali-kali buatan. Mereka menamakannya gracht. Di Belanda, gracht banyak membelah kota Amsterdam.

Atas seizin Kompeni, ada juga kali yang dibuat oleh pihak swasta. Pembangunan kali buatan atau kanal tersebut dimaksudkan untuk memperlancar aspek komersial-ekonomi. Grachten (bentuk jamak dari gracht) menghubungkan aliran-aliran sungai alamiah yang satu dengan yang lain.

Saat itu sungai merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan. Berkat adanya kanal, maka banyak sampan pengangkut barang-barang itu "potong kompas" agar bisa lebih cepat sampai di tempat tujuan. Meskipun harus membayar (seperti jalan tol pada masa kini), sesungguhnya kali-kali buatan itu sangat membantu kelancaran perekonomian masyarakat.

Kali buatan yang paling terkenal sampai sekarang adalah Molenvliet, yang dibangun oleh seorang Tionghoa Phoa Bing Ham pada 1648. Sampai pecah Perang Dunia II sejumlah jalan tertentu di bagian utara kota dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini Jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (kini Jalan Cengkeh), dan Groenegracht (kini Kali Besar Timur III). Tentulah hal ini menunjukkan bahwa jumlah kanal di Batavia waktu itu sangat banyak.

Namun, kali-kali buatan dan kali-kali alamiah yang hilang pun tidak sedikit. Sejak awal abad ke-20, misalnya, bagian Kali Besar yang menyusuri Jalan Pancoran sudah tidak ada lagi. Barangkali telah menjadi riol tertutup. Demikian juga kali-kali lain di kawasan kota tua Jakarta sekarang.

Dulu, tepat di tengah-tengah Jalan Kongsi Besar juga pernah dialiri sebuah sungai. Puluhan tahun yang lalu, yang tersisa hanyalah palang-palang pipa besi bergaris tengah sekitar 10 sentimeter. Palang-palang itu memagari kedua sisi sungai. Entah sejak kapan, tiba-tiba sungainya sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak. Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan barang, sungai-sungai di Batavia menjadi sumber air minum utama warga kota (Batavia, 1988).

Kali Ciliwung di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk sekarang (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl):
Kali Ciliwung di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk sekarang (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl):
Bencana

Sejak zaman prasejarah hingga abad ke-17, Ciliwung selalu menjadi pusat atau sumber kebutuhan warga. Namun, sejak meletusnya Gunung Salak di Jawa Barat pada 1699, kualitas Ciliwung semakin menurun. Banyaknya material yang dibawa akibat erupsi tersebut, menyebabkan Ciliwung mulai kotor. 

Ditambah giatnya pembukaan hutan di sana-sini, maka bencana ekologi pun mulai terasa. Bau busuk air yang tercemar akibat saluran tersumbat oleh batang-batang pohon yang ditebangi, ditunjang banyaknya deretan perumahan penduduk, terjadi di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun